Suara Tembakan

99 3 0
                                    

Doorr! Doorr doorr! Suara tembakan terdengar nyaring di telingaku. Aku terbangun dari tidurku karaena suara tersebut. Benar saja, hari sudah pagi, matahari mulai meninggi. Kulihat ayah sedang fokus di depan laptopnya, di telinganya terpasang headset. Ia sedang bermain Call of Duty dengan volume yang sangat keras. Sepertinya ia belum memasang headsetnya dengan benar.

"Yah, volumenya kecilin dong. Kalo ga, headset yang bener masangnya." Ujarku sambil menepuk pundak ayah. Ayahku yang menyadari kalau headsetnya belum terpasang dengan benar hanya tersenyum kecil.

"Lagian ayah juga ngapain, main game pagi-pagi. Game tembak-tembakan lagi." Lanjutku. Ayahku masih fokus pada laptopnya seolah tak mendengarku. Kemaren Dota2, sekarang Cod, entah besok apa. Ujarku dalam hati.

"Emangnya, bapakmu, ga boleh maen game?" tanya ayahku.

"Ya bolehlah. Terus kemaren, ayah kemana? Kok pulangnya malem amat." Aku duduk di sofa di ruang tamu.

"Coba tebak." Ayahku kembali fokus pada laptopnya.

"Kemaren pas aku dateng, lampu depan rumah ga dinyalaain. Berarti, ayah perginya sore-sore sebelum gelap. Tapi, pas aku berangkat ayah masih di rumah. Berarti, ayah berangkatnya antara jam 4 sampe jam 6. Terus, ada dua cangkir di ruang tamu pas aku dateng. Dua-duanya isinya teh dan sudah habis. Juga ada sisa gula di cangkir itu. Padahal, ayah kan punya penyakit gula. Berarti ada dua orang tamu yang dateng." Aku mencoba menebak.

"Terus?" ayahku tersenyum kecil.

"Buat teh, butuh waktu kurang dari 5 menit, kalau udah ada air panasnya di dispenser. Tapi, untuk menghabiskannya butuh waktu sekitar 20 menit karena panas. Tapi, ayah tak sempat mencuci cangkir di ruang tamu. Padahal, ayah selalu beresin kalo habis makai sesuatu. Berarti, saat itu ayah sedang buru-buru. Aku berangkat ke sekolah, jam 4 lebih 20. Kalau ditambah 25 menit berarti jam 5 kurang seperempat. Jadi ayah pergi jam segitu. Bener ga?" tanyaku.

"Keren juga kamu. Tapi kamu belum nebak ayah pergi kemana. Ya kan?" ayahku bertanya balik.

"Pasti pekerjaan. Lagian, ayah juga ga pernah ngasih tau pekerjaan ayah." Jawabku.

"Ya! Ayah pergi karena pekerjaan. Tapi, ayah ga pergi jam 5 kurang seperempat. Setelah kamu berangkat, ada telpon tentang kerjaan. Ayah langsung pergi untuk beli kentucky sama nasi buat kamu. Terus ada tamu jam 5 kurang seperempat. Jadi, ayah buat teh untuk mereka. Setelah itu, ayah pergi bareng mereka jam 5 pas. Tapi, ayah ga lupa nyalain lampu depan. Tapi pas ayah mau nyalain, lampunya konslet. Jadi ayah biarin." Ayahku menjelaskan.

"Lho kok minum tehnya cepet amat? Terus lampu depannya nyala tuh." Aku melirik ke depan.

"Kan pas itu lagi buru-buru. Jadi minumnya lebih cepet. Tadi malam, ayah ganti lampunya habis pulang dari kerja. Kamu mandi duluan gih! Udah jam setengah 7 tuh. Ayah mau masak dulu." Ujar ayahku sambil pergi ke dapur.

"Oh ya. Ayah, bisa beliin aku alat pelacak ga?" teriakku sambil menuju kamar mandi. Ayah hanya diam tak menjawab pertanyaanku.

Aku segera meluncur ke kamar mandi untuk mandi. Ayah pergi ke dapur untuk masak sarapan. Aku merasa bahagia punya seorang ayah yang baik. Tapi mungkin aku akan lebih bahagia kalau punya seorang ibu. Selesai mandi, aku segera makan sarapan yang sudah disiapkan ayahku. Aku segera berangkat menuju sekolah selesai mandi dan sarapan.

Di jalan menuju sekolah, aku melihat sebuah rumah yang hangus karena kebakaran. Tadi malam memang ada sebuah kebakaran di sekitar sana. Di samping rumah tersebut, ada sebuah rumah yang ditandai dengan tanda 'dijual cepat'. Rupanya, rumah tersebut mau dijual oleh pemiliknya. Di sebelahnya, aku melihat sebuah toko yang masih tutup, 'Raja Lampu' begitu tulisannya. Lalu, disebelahnya ada sebuah rumah makan lesehan yang tak terlalu besar.

The Silent MonsterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang