Nurul Pov
Akhirnya acaranya pun selesai, kini aku resmi menjadi istri dari laki2 ini, aku pun turun dari pelaminan dan menghampiri sahabat2ku yang masih duduk di meja VIP sambil menikmati makanan mereka, mereka yang membantuku mensukseskan acara ini tentunya, jadi gak heran kalau mereka belum menyantap makanan yang sudah disediakan.
"Hufff....capeeekkkk...." kataku sambil duduk di salah satu kursi yang masih kosong di meja itu, pandanganku melayang mencari sosok wanita keturunan dengan mata sipitnya yang ditutupi kacamata itu, tapi aku tak menemukannya, bahkan anak2nya yang dari tadi aku perhatikan berlarian kesana kemari saat aku di pelaminan pun tidak kutemukan
"Loh, ci Retha mana? Kok gak keliatan" aku bertanya pada mereka"Oh, tadi si Retha pamit pulang duluan, kecapean dia ngejar2 si kembar, tadi dia nyuruh gw pamitin ke loe, dia gak sempet nyamperin loe Rul, soalnya dia baru berhasil nangkep si kembar setelah lama ngejar2 mereka, kalau di lepas lagi bakalan susah dapetnya lagi katanya, hahaha...." mba Irna menjelaskan kenapa cici gak kelihatan batang hidungnya, agak kecewa juga sih, soalnya aku belum sempat bertanya soal tadi waktu aku melihat kesedihan di wajahnya, aku merasa itu ada sangkut pautnya dengan diriku, entahlah perasaanku gak enak.
"Eh iya mba, tadi si om Purnama sama tante Belinda dateng gak?" Aku bertanya lagi ke mba Irna.
"Orang tuanya Rio?" Aku mengangguk cepat kepadanya
"Kayaknya sih enggak deh Rul, tapi gak tahu juga kalau datengnya pas gw lagi ke toilet, nanti cek di buku tamu aja yah" aku pun menganggukkan kepalaku, "thanks yah mba".Entahlah dari tadi sejak aku berdiri di pelaminan pikiranku melayang terus teringat sama Rio, saat2 aku bersamanya dan saat2 dia masih di sampingku. Perasaanku sungguh gak enak, kacaunya ini kan hari pernikahanku dengan Bams, tapi aku malah memikirkan laki2 lain. Huffftt...
"Rul, kita pulang duluan yah, capek banget Rul" mba Irna menyadarkanku dari lamunanku, "eh iya mba, makasih yah buat semuanya" aku pun cipika cipiki dengan mereka, pas giliran cipika cipiki sama Dhea, dia membisikkan sesuatu di telingaku "besok gw tunggu cerita MP nya yah... hahaha..." DEGG!!! Aku lupa.... bagaimana ini?...
Kini tinggal ada aku, Bams, mama dan adikku dan kedua orangtuanya Bams, tiba2 Bams memegang tanganku "kita pulang?" Karena kaget dan masih kepikiran ucapan terakhir Dhea, reflek aku menarik tanganku, detak jantungku pun gak karuan, dia berdetak kencang sampai rasanya mau keluar dari tempatnya.... tanpa kusadari keringat dingin telah menjalar keseluruh tubuhku, aku takut... bagaimana ini? "Maaf, aku tahu kamu belum siap, tenang aja aku sudah siapkan 2 kamar di rumah kita nanti, aku akan tidur terpisah sama kamu, aku akan menunggu sampai kamu siap" dia menundukkan kepalanya setelah mengatakan itu, nampak kesedihan di matanya, dan tiba2 aku merasakan sesuatu yang tidak biasa di hatiku, hatiku sakit ketika melihatnya sedih, kenapa? Aneh?.
"Maaf yah Bams, maafkan aku belum bisa menjadi istri yang baik buat kamu, tapi aku janji aku akan berusaha" dia mengangkat wajahnya, tampak garis senyum diwajahnya, tampak kebahagian disana, yah tentu saja dia senang karena baru kali ini aku berkata lembut ketika berbicara dengannya, anehnya hatiku pun terasa damai ketika melihat senyumannya, mungkin rasa itu mulai tumbuh.. entahlah, semoga semua ini berjalan baik.Seminggu sudah aku menyandang gelar sebagai istri Bams, aku melakukan semua tugas seorang istri, memasak, menyiapkan pakaian, mencuci dan semua hal yang memang menjadi tugas seorang istri, hanya satu yang belum bisa aku lakukan, yah... menyerahkan mahkotaku, sampai saat ini aku masih menjaga kehormatanku, kami belum melakukan hubungan layaknya suami istri, Bams menepati janjinya, dia sabar menungguku, dia tak pernah memaksa, sikapnya selalu lembut kepadaku, dan karena sikapnya itupun aku tak pernah lagi bersikap judes padanya, aku selalu berusaha mengubah sikapku, sampai detik ini aku cukup bahagia dan bersyukur pada Tuhan diberikan suami yang sangat pengertian.
Karena ini hari sabtu, aku dan suamiku tidak bekerja, pagi ini setelah sholat subuh berjamaah yang di imami nya kami berencana untuk berolahraga bersama di lapangan dekat rumah kami. Oh iya satu lagi sekarang kami punya panggilan sayang, hahaha... panggilan kami umi dan abi, yah itu supaya aku terbiasa ada di dekatnya, ide ini pun muncul dari kami berdua saat sedang ngobrol santai di rumah kami.
"Umi, sudah siap belum? Abi tunggu di teras yah mi" aku yang sedang berganti baju di kamarku segera menjawab panggilannya "iya Abi, sebentar lagi Umi selesai" setelahnya aku langsung bersiap dan keluar dari kamarku, kami pun berjalan bersama dan dia menggandeng tanganku, yah aku harus mulai terbiasa tentunya. Sepanjang perjalanan dia sangat memperhatikanku, bahkan setetes keringat yang jatuh dipelipisku langsung di lapnya menggunakan handuk kecil yang dia bawa, aku diperlakukan bak putri olehnya, sampai teakhir kami memutuskan menyudahi olahraga kami dia memaksa menggendongku di belakang punggungnya.
"Ayo, umi naik aja, kasian umi, Abi gak mau Umi kecapean" katanya sambil berjongkok di depanku "aahh.. tapi Umi malu Abi"
"Kenapa musti malu si Umi, mereka kan sudah tahu kalau kita ini pengantin baru" kata Abi menggodaku.
"Hahaha... yah sudah Umi naik yah, awas loe Umi di jatohin sama Abi"
"Yah enggak bakalan lah Umi, Abi kan sayang banget sama Umi, gak mungkin Abi biarin Umi jatoh, jangan kan jatuh, Umi di gigit nyamuk dikit aja Abi pasti langsung khawatir umi"
"Aahhh... itu mah lebay Abi, hahaha..." aku pun akhirnya naik ke punggungnya.Sepanjang perjalanan aku menyenderkan kepalaku di bahunya, aku menatap wajah suamiku ini, apa kekurangannya? Tidak ada, bahkan dia sangat menyayangiku, malah aku yang sudah berdosa tidak menjalankan tugasku sebagai istri sepenuhnya, gak kerasa air mataku pun keluar dan jatuh di bahunya Bams, tampaknya dia menyadarinya, karena tiba2 dia menghentikan langkahnya dan menoleh menatapku "loh..., Umi kenapa nangis? Umi sakit? Sakit di mananya Umi?" Aku hanya diam, aku merasa bersalah padanya, karena khawatir dia menurunkanku dari gendongannya, kemudian dengan cepat dia berbalik dan memegang dahiku, "Umi sakit? Umi... Umi kenapa?" Bukannya berhenti tangisanku malah semakin menjadi, Bams pun akhirnya menarik tubuhku dan memeluknya, dalam pelukannya aku menangis sekencangnya, aku sangat merasa bersalah pada pria ini, lalu kurasakan tangan kekarnya Bams mengusap rambutku, "Umi kenapa sih? Umi jangan bikin Abi khawatir dong, atau.... Umi gak senang yah hidup sama Abi? Apakah Umi tersiksa? Maafin Abi yah belum bisa jadi suami yang baik buat Umi?" Karena kata2nya itu tangisanku bukannya berhenti tapi malah makin menjadi, Abi tampaknya makin kewalahan dengan sikapku ini, dan tanpa kusadari tubuhku tiba2 serasa melayang, kubuka mataku cepat dan ternyata Bams menggendongku di depan badannya, ala Bridal gitu, dalam seketika hatiku terasa nyaman, dan aku merasakan keamanan saat di gendongnya seperti itu.
Sesampainya di rumah Bams membawaku ke kamar dan meletakkan ku di tempat tidurku, dengan telaten dia melepas sepatuku dan menarik selimut untuk menutupi badanku, tampak kekhawatiran di wajahnya. Setelah itu dia duduk di pinggir ranjangku, memegang dahiku dan mengusap rambutku "Umi istrahat dulu aja yah, biar Abi yang siapin makan siang buat kita nanti" aku pun hanya mengangguk lemah padanya, saat dia hendak berdiri dan keluar dari kamarku aku menahan tangannya, "terimakasih yah Abi, maafin Umi belum bisa menjadi istri seutuhnya buat Abi" karena ucapanku itu Bams kembali duduk di sampingku "Umi bilang apa sih? Abi sudah bahagia kok hanya dengan Umi mau di sisi Abi"
"Abi sangat bersyukur sama Allah di berikan Umi sebagai pendamping Abi, Abi selalu berdoa sama Allah supaya Umi juga bahagia bersama Abi, Abi gak mau maksa Umi buat sayang sama Abi, biar Allah aja yang atur semuanya" perkataannya membuat hatiku terenyuh, aku pun akhirnya memaksa tubuhku bangkit dan duduk menghadapnya, dan tanpa kusadari tanganku membelai wajahnya, menulusuri tiap lekuk wajahnya, hatiku terasa sangat nyaman saat ini, dan saat jemariu sampai ke bibirnya, tangannya memegang jemariku, wajahnya mendekati wajahku, reflek aku menutup mataku, membiarkannya melakukan apa yang memang sudah seharusnya dilakukan pasangan suami istri, hatiku sudah siap, aku sudah mantap dengan keputusanku, dia suamiku dan aku.... menyayanginya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Menikah Tanpa Cinta
RomanceSetiap pernikahan di dasari atas dasar cinta dan sayang, mengandalkan perasaan kedua orang yang disatukan dalam ikatan suci. Tapi aku....... Semenjak merasakan apa yang namanya sakit mencinta, aku tak mau lagi terhanyut dalam perasaan itu, akhirnya...