Ternyata Bukan Aku

5.5K 360 0
                                    

Kalau tidak baik, tidak mungkin aku tergila-gila padanya. No Name.

"Carra, jangan lupa yang tadi ibu katakan, kamu selalu saja menggunakan pemilihan kata yang kurang tepat, walaupun analisisi kamu  bagus." Komentar bu Ema.

"Maaf bu, nanti akan saya usahakan malam ini untuk memperbaikinya."

"Bacalah tulisan-tulisan resmi jika kamu mau memperbaikinya.
"Saya biasanya membaca koran tapi itu untuk menemukan kata-kata asing saja." Pikiran Carra lalu mengarah pada catatannya yang tertinggal di perpustakaan tadi pagi. Semua ini karena Devan, cowok itu telah mencuri semua perhatiannya lebih dari apapun di dunia ini.

"Marlo, analisis kamu kurang. Coba perdalam lagi materinya."

"Baik bu." Jawab Marlon seadanya.

"Brenda, saya rasa kamu sudah cukup maksimal. Tinggal tanda baca saja yang perlu dilihat lagi. Ini bukan penulisan novel."

"Saya mengerti bu."

"Hari ini kerja bagus anak-anak, siapkan diri kalian untuk besok. Jangan sampai telat." Kata pak kepala sekolah pada mereka.

Carra bergegas keluar dari ruangan redaksi itu.
"Hai Carr,"
"Hai Jo, gue pikir lo gak mau nemuin gue. Lo hindarin gue ya?"
"Maaf."
"Gak apa-apa, santai aja lagi. Gue gak marah, itu gak penting."
"Gue pikir gue udah ngusik privasi elo, gue gak bermaksud nguping pembicaraan lo di telepon waktu itu."
"Ya gaklah, gak masalah. Gue nyuruh lo kesini, karena gue mau ngundang lo buat makan malam di rumah gue. Kakak gue lagi eksperimen gitu, jadi masaknya banyak banget. Dari pada mubazir mending gue ngundang kalian buat makan. Ajak Gandy juga ya, jangan lupa entar jam 7 malam. Gue cuma ngajak tiga kuyuk kok."
"Lo gak ngajak Devan?"
"Gak. Gue yakin pasti dia gak bakal mau dateng."
"Yaudah pasti gue dateng."

"Lo gak mau kemana-mana lagi kan?
"Perpustakaan jam segini udah tutup ya?"
"Udah. 30 menit yang lalu."
"Kalau gitu gue langsung pulang."
"Yaudah gue anterin ke mobil lo."
Dua sahabat itu berjalan bersisian ke arah parkiran.

***
Carra Pov

Mobil kak Revan memasuki hotel tempat lomba diadakan. Setelah memberi salam aku segera turun dari mobil itu. Di depan sana terlihat Marlon, Brenda dan Devan? Oh, Carra, kau harus ingat, Brenda itu calon pacar Devan. Masih dengan senyuman yang sama aku melangkah menuju mereka. Tanpa mengatakan apapun Devan menyodorkan buku yang kukenali sebagai catatanku. Ia hanya menatapku dalam. Apakah dia benci aku berada disini? Atau mungkin dia tak ingin berlama-lama melihatku. Tapi lihatlah, wajahnya kenapa terluka seperti itu. Ya Tuhan, apa yang terjadi pada wajahnya. Aku berubah khawatir.
Luka di wajahnya belum mengering. Aku menunduk sebentar

"Makasih!" Ucapku padanya. Ia sama sekali tak menjawab melainkan menatapku.
"Kalau kalian mau duluan ke atas, duluan aja. Gue masih mau ngobrol sama Devan."

"Gak apa-apa ni kita tinggal?" Tanyaku.
"Gak apa-apa kok."
"Yaudah, kalau gitu kita duluan. Gue capek pingin istirahat. Ayo Mar." Ucapku pada Marlon. Aku dan cowok jenius itu lalu pergi meninggalkan mereka. Aku sama sekali tak ingin menoleh pada Devan lagi. Biarlah dia bahagia.

Aku memasuki kamar hotel yang akan ku tempati. Hal yang pertama kulakukan adalah tidur. Mungkin bisa mengistirahatkan pikiranku dari rasa sakit yang mendera sedari tadi malam.

Beberapa menit kemudian, pintu kamarku tiba-tiba terbuka. Aku membuka mataku, menatap Brenda yang baru saja memasuki kamar. Dia tersenyum padaku.

"Belum tidur?" Tanyanya.
"Gak bisa."
"Lo terlalu kepikiran buat lomba besok ya? Atau kepikiran sama Devan?" Tanyanya santai. Wajahku tampak terkejut.

ADORE (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang