Would You Be My Affair

7K 405 6
                                    

Suasana mobil tampak begitu hening. Walaupun pikiran Carra sedang ribut. Sementara itu, Devan bersikap tenang. Devan kelihatan santai setelah menyadari sikap plin-plan seperti tadi, menyuruh Carra jangan menghindar lalu beberapa menit kemudian menyuruh Carra pergi dari pikirannya. Devan menyadari itu semua adalah spontanitas, dan Carra telak telah menghancurkan logikanya. Logika yang selalu tepat dan cepat dalam bertindak. Ia kini merasa seperti anak kecil.

Mobil silver itu berhenti tepat di pinggir jalan yang sepi. Menyadari hal itu, Carra mengganti posisi duduknya menjadi lebih nyaman.

"Would you be my affair?" Tembak Devan langsung.

"Lo gila ya? Lo bawa gue kesini, gelap-gelap kayak gini, terus lo mau jadiin gue selingkuhan lo? Apa sih yang ada dipikiran lo? aneh tahu gak." Sembur Carra karena masih kesal karena kejadian tadi.

"Lo percaya gak, gue suka sama lo."
"Gak."
"Sama gue juga." Nada suara Devan agak dikeraskan.

"Tapi itu kenyataannya, Carr. Gue rasa udah jatuh cinta sama lo. Gue kangen perhatian lo, khawatirnya elo sama gue, cemilan lo, lo yang selalu disamping gue, obatin luka gue, sampai waktu lo ngelus kepala gue. Gue benar-benar pengen lo kayak dulu lagi, Carr. Gue sama Kinan, gue ngerasa perlu buat lindungin dia. Tapi kenapa saat sama lo, gue berasa nyaman, dilindungin, pokoknya efek lo dahsyat banget buat gue selama beberapa hari ini." Ia terkekeh pelan, sambil menatap Carra lembut.

"Carr, jawab dong." Rajuknya.
"Gue mau jawab apa?"
"Lo masih sayang sama gue kan?"

"Gue gak mau munafik ya, walaupun gue menjauh tapi perasaan itu masih ada. Sayangnya lo bukan milik gue, dan mungkin gak akan pernah jadi milik gue. Lo udah punya Brenda. Dia sempurna banget jadi cewek, gue aja iri. Jalanin aja hubungan lo sama dia. Devan, gue yakin lo bakal bahagia, karena dia bisa ngasih semua yang gak gue kasih ke elo. Gue seneng kalo lo nemuin kebahagiaan lo." Carra berusaha meluruskan semuanya.

"Tapi gue bahagianya sama lo." Sungut Devan.

"Hei dengarin gue, pikir pake logika lo, secara spontan, kayak biasanya oke? Dia itu cantik, pintar, berbakat, kaya, terkenal, asyik diajak ngobrol, yang paling penting itu baik ke semua orang, itu udah complete banget. Semua cowok iri sama lo. Nah gue? Gak pintar-pintar amat, cantiknya juga rata-rata, terkenal juga gak, kecuali waktu gue digosipin jadi orang ketiga di hubungan lo sama Kinan. Kalian cocok banget." Tutur Carra sambil mengingat hinaan satu sekolah saat ia dicap menjadi orang ketiga.

"Gue gak peduli Carr, gue gak peduli sama hal itu. Justru gue iri sama cowok yang deket sama lo. Gue cemburu sama Jo."

Carra menghela napasnya."Gue yakin lo pasti bakal nyesel karena milih gue."

"Enggak Carr, jangan pernah ngomong kayak gitu. Lo gak sama kayak semua cewek yang pernah gue temui. Lo berbeda. Gue ngerasain itu, dan perasaan itu ada buat lo. Semenjak gue lihat lo menangis karena Kinan."

"Jangan jadi cowok tolol, kalau lo merasa bersalah sama gue, gue udah maafin lo kok. Kita bisa jadi sahabat baik." Ucapan Carra menuai tatapan tajam dari Devan. "Tuh kan lo diam, makanya pikir-pikir dulu sebelum ngomong sesuatu." Lanjut Carra saat tak ada respon dari Devan.

"Gue cinta sama lo! Apa itu gak cukup hah! Rasa bersalah apa? Gak ada rasa apapun selain cinta. Gue nyaman sama lo, gue ingin terus dekat sama lo, gue hajar sahabat gue sendiri karena lo, apa itu bukan cinta? Bahkan tadi gue ninggalin Brenda di mall biar bisa ketemu sama lo. Apa itu bukan cinta? Apa itu perasaan bersalah? Jawab gue. Lo penulis, lo pasti tahu hal-hal sepele kayak gini, termasuk kenapa jantung gue bisa berdetak cepat saat dekat lo." Jelas Devan panjang lebar dengan aura mengintimidasi, membuat Carra mau tak mau mempercayai ucapan Devan yang terbilang serius.

ADORE (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang