Hilangnya Harapan

5.2K 420 45
                                    

Cuaca hari ini terlihat lebih cerah dari biasanya, menurut Prilly. Padahal jelas-jelas di luar sana awan gelap sedang menggelantung, dari mana cerahnya coba? Mungkin hati Prilly yang sedang cerah hingga mempengaruhi sudut pandang penglihatannya.

Gadis itu berjalan dengan senyum yang mengembang di wajah cantiknya. Pengakuannya pada Hito kemarin sedikit banyak membuat perasaannya lebih terasa lega.

Kalau memang benar Ali memiliki rasa padanya berarti perjuangan dan sakit hatinya tidak sia-sia, tapi, untuk saat ini ia tak boleh terlalu menaruh hati apalagi berharap, takut kecewa.

Lagi, hatinya sedang dalam proses penyembuhan, jadi tidak boleh dibuat lebih sakit.

Duk...

Prilly meringis saat jemari kakinya terantuk batu besar yang entah sejak kapan berada disana.

Cantengan, cantengan deh! Batin Prilly.

Ketika hendak melangkah, Prilly mengembuskan nafas panjang, tali sepatunya terlepas. Sepertinya lain kali Prilly akan mengganti sepatunya dengan sepatu kets tanpa tali, supaya dia tak harus susah payah berhenti berjalan saat tetiba tali sepatunya terlepas.

Prilly berdecak, kemudian menunduk, hendak membetulkan tali sepatunya agar tak menganggu perjalannya.

Baru saja akan menyentuh tali sepatu, Prilly menyentuh tangan lain yang tetiba berada di sepatunya. Bau parfum khas pemuda maskulin itu menyentuh indra penciuman Prilly, sejenak gadis itu membeku.

Ia hendak mendongak dan memastikan, tapi gerakan tangan di sepatunya itu seakan menghipnotis Prilly hingga membuat gadis itu tetap memperhatikan setiap gerakan dari tangan itu.

Barulah, saat tangan itu terangkat Prilly mendongak, tubuhnya yang setengah berjongkok membuat mata Prilly bertubrukan langsung dengan manik mata legam serupa arang milik pemuda itu.

Prilly menelan ludahnya susah payang, rasanya saliva itu tak mau masuk lebih dalam ke tenggorokannya.

Dadanya berdegup sangat kencang, dan membuat Prilly menahan nafasnya. Sorot mata yang selalu dirindukannya ada di depan mata, bahkan berjarak kurang dari satu jengkal.

Beberapa murid berbisik, ada yang iri, dan bahkan banyak pula yang mencaci.

Tekk...

Prilly mengerjap saat jentikan jari Ali menariknya kembali ke alam nyatanya. Gadis itu berdehem sejenak kemudian berdiri, wajahnya berubah datar. Sebisa mungkin Prilly tak boleh terpesona dengan pemuda itu.

"Masih terpesona sama gue ternyata." Ali tertawa mengejek, membuat Prilly melotot seketika.

"Mwoo! Hhee! Gue udah gak ada RASA sama elo, catet!" Prilly mengacungkan telunjuknya tepat di depan wajah Ali. Jelas Prilly sedang berdusta karena faktanya saat ini hatinya sungguh bahagia karena melihat Ali kembali menganggapnya ada.

"Owh ya, masak?!" Ali bersidekap, tatapan matanya masih tak lepas dari Prilly, yang saat ini enggan untuk menatap mata pemuda itu.

"Ganggu banget sih loe pagi-pagi, bikin mood bagus gue rusak aja?!"

"Minggir loe gue mau lewat!" Prilly melangkahkan kakinya menghindar, tapi Ali lebih cepat menghalangi, setiap langkah yang diambil oleh Prilly Ali melakukan hal yang sama.

Boy dan Niki yang melihat tingkah laku mereka berdua hanya bisa menggelengkan kepala. Yang cewek sok jual mahal mau belajar ngelupain, sedang yang cowok masih gengsi buat ngakui perasaannya.

"Akhhh, capek gue! Bisa gak sih gak usah ngehalangi langkah gue?!" Prilly menghentakkan kakinya sebal, sambil menatap Ali gemas.

Pemuda itu mencembikkan bibirnya kemudian mengendikan bahu, gerakan tubuh yang sama sekali tak jelas. Prilly kembali menghentak-hentakkan kakinya sebal.

HARMONIZETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang