Bab 1: Come back

456 41 112
                                    

Malam itu petir saling bersahutan, berlomba memecah suara hujan yang begitu deras. Gelap. Tak ada lampu. Hanya cahaya kilat yang sesekali menerangi tubuh yang tengah berdiri di antara bangkai Rheha, makhluk karnivora yang ganas. Produk gagal dari proyek penelitian senjata hidup yang tanpa sengaja terlepas dari gudang pemusnahan.

Mereka begitu rakus hingga bangkai pun dimakan, liar bagai hewan yang gila, dan buruk rupa. Gigi runcing, lidah menjulur, liur yang menetes, serta bau mereka yang amat tak sedap dianggap sangat menjijikkan. Rheha juga tak dapat diatur sama sekali. Bahkan mereka memangsa manusia yang menjadi perawatnya.

Tubuh yang berdiri tegap itu tak menggigil walau di tengah hujan angin seperti ini. Entah karena tubuhnya sudah kebal dengan dingin atau memang hatinya sudah beku. Tatapan mata yang tajam begitu menusuk. Darah berwarna ungu pekat terciprat di seluruh tubuhnya yang dibalut jubah hitam bertudung besar, dengan goresan putih sederhana membentuk kepala rubah di bagian punggung.

Tangannya masih menggenggam erat sepasang pedang hitam yang juga berlumur darah Rheha. Ia menatap Rheha yang masih hidup di hadapannya. Makhluk menjijikkan yang terakhir hidup itu sudah sekarat dengan napas yang terputus-putus dan merangkak mendekatinya. Jaraknya hanya satu meter. Ia mendekatinya dengan mengangkat pedang. Tak ada rasa iba.

"Matilah!"

ZRASSHHH.

°/\°


Tiga tahun kemudian....

Pagi ini begitu cerah. Anak-anak desa Vaya berkumpul di lapangan, tepat di bawah pohon beringin yang amat besar dan rindang. Mereka sedang mendengarkan cerita seorang pak tua yang rambutnya mulai memutih dan agak bungkuk. Seorang pria tua yang ramah dan menyenangkan. Ia selalu punya cerita untuk anak-anak karena sudah pergi ke berbagai tempat di dunia.

"Ketika senarku makin memendek, jantungku berdegup makin kencang. Terus dan terus kugulung. Ketika sudah memendek...," pak tua itu sengaja menggantungkan cerita. Ia suka wajah anak-anak yang penasaran.

"Apa ikan besar?" tanya seorang anak.

"Apa itu paus?" sahut anak lainnya.

"Hahahaha, kalian penasaran, hm?" pancing pak tua itu.

"Oh, ayolah. Jangan menggantung begitu, Tuan Kai," keluh anak lain berambut sepinggang.

"Huahahah. Kalian penasaran rupanya!"

"TUAN KAI!!!" Anak-anak mulai jengkel padanya.

"Ok, ok," ia berdehem, meredakan tawanya yang tadi meledak. "Kulihat ke air. Bayangan tangkapanku terlihat cukup besar. Aku bersemangat menggulungnya. Terus dan terus. Aku sudah membayangkan ikan besar untuk dimasak. Anehnya tarikan pancingku terasa semakin ringan. Ketika sudah di atas air ... hanya kepalanya saja. Badannya dimakan Hiu."

Anak-anak terlihat kecewa. Mereka mulai berspekulasi tentang Ikan apa yang Tuan Kai dapat. Ia suka pemandangan ini. Riuh obrolan mereka seperti suara kotak musik yang menenangkan. Anak-anak yang memiliki rasa ingin tahu dan imajinasi yang tinggi lebih menarik dibanding harta karun yang pernah ia lihat.

Di saat semua anak asyik bercerita sendiri, tiba-tiba seorang anak mengacungkan tangannya. Ah, sebuah pertanyaan. Ia sudah menunggunya sejak tadi. Ia suka antusiasme mereka.

Black SaviorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang