Bab 8: Rasa

94 8 3
                                    

Jaa! Aku kembali setelah sekian abad lenyap. Aku berpikir keras soal lanjutan ceritanya. Tenang saja, semua sudah ada di kepalaku.. tinggal mengumpulkan niat, menyusun konsep, lalu mengetik. Masalahnya ada di-mengetiknya. Aku agak malas belakangan. Payah, ya..

Kembali juga berarti aku harus memikirkan judul untuk tiap bab. Yang berarti juga aku harus terdiam menatap ponsel cukup lama tanpa mengetik. Hahaha.. yang penting aku sudah Update. Ya, kan?

Selamat membaca

°/\°

Malam ini terasa menenangkan. Archa duduk di salah satu bangku taman di taman belakang asramanya. Ia memandangi bintang yang bertaburan layaknya serbuk mutiara di langit. Sambil menunggu tehnya mendingin, ia mulai mengingat masa lalunya. Masa indah bersama adik manisnya. Beberapa hari ke belakang ia mulai bisa sedikit berekspresi lagi.

“Boleh duduk?”

Suara bariton itu membuatnya menoleh. Lio menatapnya sambil membawa teh panasnya. Ia terkekeh sebentar lalu menepuk tempat di sampingnya, menandakan Lio bisa duduk di sana. Segera Lio duduk dan ikut meletakan teh pahitnya di meja. Ia mengangkat lalu menyilangkan kakinya di bangku.

“Tadi siang rasanya seperti di neraka.” Lio mulai membuka pembicaraan di antara mereka.

“Hm. Aku setuju. Tuan Kai benar-benar mengerikan.”

“Yang mengerikan itu adikmu.”

“Ya, aku juga setuju tentang itu.”

“Kurasa adikmu sudah diracuni oleh tuan Kai hingga seperti itu.”

“Yah, mungkin. Andaikan hari itu tak pernah terjadi, mungkin Urca masih jadi gadis yang manis.”

“Dia manis, kok.”

Eh? Apa katanya? Archa menoleh untuk memastikan pendengarannya. Tapi yang didapatinya malah wajah Lio yang sedikit memerah. “Kau ... benar-benar menyukai adikku?”

Lio membisu. Ia malu. Sungguh, ia malu. Bahkan kini ia menunduk. “Siapa yang tidak menyukai g-ga-gadis sema-manis dia.” Gawat! Ia bahkan tergagap di hadapan kakak dari gadis yang ia suka. Ini memalukan sekali.

Menarik. “Ah, kau tergagap. Sesuka itukah?” Archa mulai menggoda ketuanya ini.

“J-jangan mulai me-menggodaku!” ya ampun ia gagap lagi.

“Hoo, kau sangat menyukainya, ya? Benar, kan, ketua?”

“B-berisik!”

“Ya ampun. Tak kusangka dunia begitu sempit. Kenapa kau bisa menyukainya?”

“Dia hebat dan kuat. Maksudku bukan kuat dalam pertarungan saja.” Lio terdiam sejenak, menatap teh hitamnya. “Dia kuat dalam arti yang luar biasa menurutku.”

Wow, pembicaraan ini ‘melembut’. “Oh, ya. Kudengar kau bersamanya di desa Vaya selama hampir tiga tahun. Apa saja yang terjadi antara kalian?”

“Tak banyak. Hanya berteman baik dan berbagi beberapa pengalaman menarik.” Pandangannya sedikit terangkat. “Memancing bersama, memasak bersama, dan ... hal lainnya. Saat-saat yang begitu damai dan menyenangkan.”

Black SaviorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang