Bab 3: Penjelas

175 28 14
                                    

Ah, aku kembali. Pesan sebelum cerita ini ada karena masukkan seseorang yang bilang aku kaku (yah, itu kenyataannya). Sarannya cukup masuk akal walaupun tingkahnya mengesalkan. Oh, jangan lupa beri komentar/kritik/saran/pesan/kesan, ya. Lalu.. Tolong vote jika kalian menyukainya. Hehehe aku meminta sangat banyak.

Selamat membaca.

°/\°


"Nyawa. Mereka memberiku nyawa. Kesempatan kedua untuk hidup."

°/\°

"Jaga detak jantungnya. Kita harus melakukan sesuatu agar dia selamat!"

Ruang operasi II hari itu sangat tegang. Mereka tengah berusaha menyelamatkan seorang anak yang kritis. Bocah yang berumur sekitar tujuh tahun itu ditemukan tak sadarkan diri diantara tumpukan mayat manusia. Terdapat banyak luka dan beberapa tulangnya patah. Juga kekurangan darah. Operasi kali ini diakui sangat sulit bahkan oleh para dokter ahli sekalipun. Beruntung beberapa ahli fisiologi dan ilmuan ikut membantu penanganan itu. Namun begitu tindakan mereka tak membuahkan hasil yang diharapkan. Detak jantungnya terus menurun. Butuh sebuah keajaiban untuk menyelamatkannya.

Ya, keajaiban. Ada sebuah keajaiban yang selama ini para ilmuan buat dengan mengorbankan segalanya. Waktu, pikiran, tenaga, harta, bahkan nyawa banyak orang. Sebuah keajaiban yang tanpa pikir panjang bisa saja merenggut nyawa bocah itu karena secara tidak langsung mereka memaksa bocah itu untuk rela jadi kelinci percobaan mereka yang entah keberapa. Seorang ilmuan berpakaian serba putih langsung mengambil ramuan hasil percobaan mereka yang terakhir. Ramuan yang didasari obsesi keserakahan akan kekuasaan dan keabadian.

"Suntikan ramuan ini," perintahnya dengan mutlak.

Awalnya dokter itu ragu menerimanya. Pasalnya selama ini mereka tak pernah menggunakan objek percobaan anak-anak. Ia tak tega. Tapi semua ilmuan menatapnya dengan tajam dan ilmuan yang memberikan ramuan padanya meletakkannya di tangannya. Dengan berat hati ia memasukannya ke alat suntik. Tangannya bergetar hebat. Tiba-tiba ia teringat anaknya yang terbujur kaku akibat penyakit, persis seperti bocah di hadapannya saat ini. Dokter juga manusia yang memiliki jiwa dan perasaan.

'Maafkan aku, nak. Sungguh, maafkan dokter yang jahat ini.'

°/\°

Dahi, alis, dan kelopak mata itu berkerut. Lalu perlahan mulai terbuka. Samar-samar ia mulai melihat gambaran yang buram dan cukup terang. Semakin lama semakin jelas. Ia kenal tempat ini. Rumah sakit, seperti tempat yang selalu ia lihat di balik jendela kecil tempat biasa ia mengintip. Ada beberapa orang mengitarinya. Laki-laki dewasa sekitar tiga? Atau empat? Entahlah. Yang pasti ia haus dan lapar. Ia menoleh, mendapati tangannya sudah di infus.

"Syukurlah kau selamat, Nak," ucap seorang pria paruh baya. Ia berdiri di sisi lain dari tangannya yang diinfus.

"Anda siapa?" suaranya serak dan tenggorokannya sakit. Mungkin ia dehidrasi berat. Pria itu segera membantunya duduk dan mengambilkannya minum. Tak lupa punggung bocah itu diberi bantal besar agar bisa bersandar.

"Aku Edrise, kepala rumah sakit sekaligus ketua peneliti pemerintah."

"Lalu?"

"Kami menyelamatkanmu, bocah," sahut pria kurus tinggi berkacamata karet besar. Tepat di ujung kasur, dekat kakinya.

Black SaviorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang