Bab 5: Bayangan

118 18 7
                                    

Aku kembali.. Berapa lama, ya? Otakku sedang buntu untuk mencari ide walaupun semua alur ada di kepala. Adakah alat yang bisa mengetik apa yang kita pikirkan? Jika ada aku mau. Yah, pasti banyak penulis yang menginginkannya juga. Haha, pastinya!

Aku jadi ingat saat masih SMP. Aku menulis ceritaku sendiri dan aku bahagia melakukannya. Belakangan ini aku melihat kembali hasil ceritaku dan aaaakh, mengerikan. Ternyata pemilihan kata yang buruk, penempatan tokoh yang aneh, alur cerita yang tidak jelas sangat mengerikan.

Oh, sudahlah.

Aaa ya ampun aku sangat senang karena ada yang vote cerita ini. Aku sampai melotot. Kukira efek mengantuk lalu aku berhalusinasi, ternyata nyata! Oow terima kasih karena sudah vote. Aku terharu. Bahkan aku sampai menari-nari.

Selamat membaca ^^.

°/\°

Lio terlihat gugup. Padahal dirinya sudah sering bolak-balik ke arena pelatihan ini tapi tetap saja jantungnya berdegub berlebihan. Kali ini alasannya kembali ke tempat itu berbeda. Pemuda itu bukan kembali untuk melatih, melainkan dilatih. Sudah berapa lama ia tak dilatih? Setahun? Dua tahun? Atau lebih? Ah, ia tak ingat sama sekali dan ia tak peduli. Sebenarnya ia berdegub bukan karena ingin bernostalgia. Tapi ia sedikit takut.

Menurut rumor yang beredar, tak ada satu pun orang yang tahan dilatih oleh pria paruh baya yang beberapa hari lalu jadi pimpinannya untuk sementara waktu. Bahkan sahabatnya, Tuan Becha, tak tahan diajak latihan bersama. Tuan Becha selalu mendesis "dasar Lucifer gila" tiap kali ia terlihat keluar ruang pelatihan khusus lalu disusul Tuan Kai yang menguap di belakangnya. Semua orang di markas pusat tahu dua orang itu sudah bersahabat sejak lama. Bisa dibilang mereka seperti Yin dan Yang. Tentu saja Tuan Becha sebagai Yin dan Tuan Kai sebagai Yang. Berbeda namun saling melengkapi. Persahabatan aneh yang menjadikan mereka tim yang paling bisa diandalkan di markas pusat.

Slaaaaap!

Pintu otomatis bergeser, terbuka, menampilkan padang yang amat luas lengkap dengan danau serta lembah bahkan jurang. Tak lupa ada hutan yang agak lebat. Anehnya, Urca tak terkejut sama sekali. Seolah ia sudah sangat sering datang ke 'taman belakang' ini. Atau mungkin efek dari kebiasaannya yang berpindah-pindah tempat tinggal? Bisa jadi.

Oh, ya. Gadis itu cemberut. Ia masih belum mendapatkan jubah kebesaran miliknya. Jubah yang seolah menjadi separuh nyawanya. Ia berjalan dengan cukup cepat, menyamai langkah tuan Kai di depannya. Ada beberapa orang di sana. Sepertinya selesai latihan. Terlihat dari wajah mereka yang dialiri peluh dari pelipis.

"Oh, kau. Mengantar, eh?" tanya Gary, pria jangkung bermata safir terang. Ia menghampiri Kai yang berdiri di dekat Saung segienam satu-satunya yang ada di sana.

"Melatih." Singkat, padat, jelas, dan datar.

"Hah? Bhuahahaha, jangan bercanda. Cuma orang gila yang ingin dilatih olehmu." Gary terlalu keras tertawa hingga ia sendiri menangis. Kai tahu pria itu akan menunjukkan reaksi seperti itu.

"Benarkah, Kai?" kali ini Riqua, seorang wanita dewasa dengan rambut panjang yang sedikit bergelombang di ujungnya. Dan ia mendapat jawaban sebatas gumaman.

"Berarti aku gila?" celetuk Urca. Ia masih saja cemberut dan tambah cemberut mendengar pernyataan Gary.

"Siapa kau?"

"Dia Urca Arc, si 'Rubah Hitam'," jawab Kai. Ia beralih pada gadis kecil di sebelahnya, "Kau tunggulah di Saung. Tugasmu hanya menonton."

Black SaviorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang