Oh, halo. Aku telat publish, ya?Padahal aku ingin melakukannya tiap Rabu tengah malam.
Aku lupa. Maaf, ya.
Um, selamat membaca~
°/\°
Seminggu telah berlalu sejak pembersihan terakhir. Sampai saat ini belum ada tanda-tanda penyerangan lagi. Markas kembali dalam keadaan kondusif namun tetap waspada. Untuk sementara beberapa tim diliburkan. Mengingat tugas yang padat sebelumnya, banyak dari mereka memilih menghabiskan waktu libur mereka untuk tidur. Wajar saja. Waktu tidur mereka amat sangat sedikit ketika mereka sedang aktif.
Lain halnya dengan tim peneliti bagian. Mereka masih di bebankan beberapa tugas untuk membantu tim peneliti utama. Zuma salah satunya. Anak Tuan Becha ini memimpin salah satu tim peneliti bagian. Nyaris tak ada libur baginya. Pemuda jangkung berambut coklat gelap setengkuk itu memang tak banyak bicara, sangat cocok masuk kelompok penelitian. Berbanding terbalik dengan Ayahnya, kan?
Hari ini ia sudah ada janji dengan seseorang. Kebetulan dua hari ini jadwalnya kosong, jadi ia menyetujui permintaan orang itu. Mereka sudah membuat janji semalam untuk bertemu di taman belakang. Diskusi kecil tentang beberapa hal mungkin. Ia duduk di kursi taman tepat di bawah pohon yang rindang. Mata hijau gelapnya memeriksa kembali beberapa data yang ia bawa. Lembaran kertas itu ia baca dengan sangat teliti. Ia tak mau sampai harus mengecewakan pemuda itu. Sedikit info, Zuma mengaguminya.
“Maaf lama,” ucap seseorang yang baru saja datang dan kini tengah berdiri di hadapannya.
Zuma mendongak, lalu tersenyum, “Tak masalah.”
Pemuda itu langsung duduk di sisi lain kursi panjang itu. Ia juga membawa sebuah binder yang cukup tebal. Lengkap dengan saku kecil yang bisa diselipkan alat tulis. “Bagaimana keadaanmu?”
“Hah?” Zuma yang terkejut dengan pertanyaan sederhana itu menatapnya bingung.
“Bagaimana keadaanmu?” ulangnya dengan tenang. Ia menatap Zuma dengan iris abu yang teduh.
“Uhm ... ba-baik. Sehat. K-kau?” Sungguh ia tiba-tiba gugup ada apa ini? Tak biasanya ada orang mau repot-repot menanyakan keadaannya.
“Baguslah kalau kau sehat. Aku baik. Hanya sedikit repot dengan sikap manja Urca. Tapi itu lebih baik daripada adikku membenciku.”
“Archa.” Ia terdiam sejenak. Entah kenapa ada perasaan tak rela saat Archa mengatakan ‘adikku’. Sejujurnya ia juga ingin dianggap adik oleh pemuda itu. “Ah, lupakan.”
“Kau bukan orang yang pandai berbohong, Zuma.”
Kembali Zuma terdiam. “Ini data yang kau minta,” ucapnya untuk mengalihkan pembicaraan. Ia tak mau membahasnya lebih lanjut.
“Kau bisa mendapatkannya dengan mudah?” Archa tak percaya. Data yang ia perlukan dengan mudah didapatkan oleh Zuma.
“Kau tidak percaya padaku?”
“Bukan begitu. Ini data sangat penting, kan? Bagaimana kau bisa mendapatkannya dengan mudah?”
“Aku pimpinan tim peneliti bagian I. Kau lupa?”
Oh, sial. Ia merasa bodoh. Tentu Zuma mendapatkannya dengan mudah. Di usianya yang masih muda ia sudah bergabung di tim peneliti dan diangkat jadi pemimpin sebuah tim khusus. Ia lupa fakta itu. Pemuda itu lupa kalau di hadapannya kini ada pemuda Jenius yang diakui pemerintah.
Zuma menatapnya geli. Wajah Archa yang kaget itu cukup lucu menurutnya. Si pemuda yang biasanya dingin itu terbengong menatap setumpuk yang ia bawa. “Kapan kita akan membahas ini?”
“Oh,” suara Zuma menyentaknya untuk sadar, “apa ada tentang ‘gerbang neraka’?”
“Hm ... ada. Ini,” Zuma memberinya sebuah buku cukup tebal dan kusam. Bentuknya lebih mirip tumpukan kertas tebal yang dijilid dengan besi hitam.
Archa membacanya perlahan. Air mukanya berubah tiap beberapa halaman. Tapi dari itu semua wajahnya terlihat begitu gusar dan marah. Tiba-tiba ia terhenti lalu menoleh pada Zuma dengan cepat, “Ada lagi? Ini baru bagian pertama.”
“Ada.” Lagi ia memberi sebuah buku lusuh yang lebih tebal. Tiga kali lebih tebal dari sebelumnya dan ekspresi Archa masih sama. Ia penasaran. “Ada apa?”
Archa menggumam, “Sebagian penelitian dihanguskan untuk menghapus jejak kekejaman itu,” kemudian terdiam sejenak lalu melirik Zuma, “tolong rahasiakan ini.”
“Kenapa?”
Pandangan Archa melembut. Ia mengacak rambut Zuma pelan. “Aku tak bisa memberitahumu sekarang.”
Archa kembali fokus pada buku itu sedangkan Zuma terdiam. Ia merasa telah begitu dekat dengan Archa . Ada perasaan rindu di hatinya. Seolah Archa benar-benar kakaknya. Rasanya ia iri dengan Urca yang bisa manja dengan pemuda itu. Zuma juga mau jadi adiknya. Sejak awal dirinya memang sudah mengagumi sosok Archa yang tenang. Pemuda itu tak pernah mengambil keputusan dengan sembarangan. Kepalanya selalu dingin dalam menghadapi berbagai masalah.
“Kakak~”
Suara manja itu membuyarkan pikiran Zuma. Ia menoleh dan mendapati Urca yang tengah berlari kecil mendekati mereka. Gadis mungil itu memakai celana selutut. Kaus merah polosnya tertutup sempurna oleh jaket ungu gelap berkuping kelinci di bagian tudung. Urca terlihat sangat menggemaskan. Apalagi jaket yang ia pakai melebihi ukuran tubuhnya yang mungil. Langkah ringannya berhenti tepat di hadapan Zuma. Matanya melirik.
“Kakak sedang apa?” tanya gadis itu pelan. Ia agak segan dengan Zuma.
Archa menutupi data-data tadi dengan beberapa map besar dan memasukkannya ke dalam tas yang ia pakai. “Urusan penting. Ada apa mencariku?”
“Kakak janji mau membuatkan kue untukku, kan?” Ah, janji semalam. Rupanya adik manisnya menagih secepat yang ia bisa.
“Baiklah.” Archa bangkit dari duduknya. Ia menatap Zuma, “mau ikut?” tawarnya dengan ramah.
Zuma kaget. Ia diajak? “Aku?”
“Kak Zuma boleh ikut. Jika mau,” sambung Urca. Gadis itu memilih untuk menjaga jarak dengan Zuma. Ingat, ia segan dengan pemuda yang rupanya nyaris mirip dengan kakaknya itu.
“Ikutlah. Toh, kau kosong, kan?”
Zuma tentu senang dengan ajakan Archa. Tapi kembali ia melirik Urca yang mengintip dari balik tubuh Archa. Kenapa gadis itu melihatnya begitu? Apa wajahnya menyeramkan?
“Kenapa kau menatapku begitu?” Akhirnya pertanyaan itu keluar dari mulutnya. Ia menatap Urca lekat-lekat.
“Ah,” Archa melirik pada Urca lalu terkekeh kecil, “maaf, ya. Dia memang begitu kalau bertemu orang baru. Terutama laki-laki.”
Akhirnya Zuma mengikuti langkah Archa menuju dapur umum yang sudah lama tak terpakai. Ini dapur lama. Sejak 6 tahun lalu dapur umum dipindahkan tepat di dekat fasilitas pelatihan. Dapur ini terletak dekat perpustakaan. Tepatnya berjarak 50 meter di sebelah perpustakaan. Sebenarnya dapur itu masih di pakai. Namun hanya untuk sekedar memasak makanan kecil atau melatih kemampuan memasak. Seperti yang sering Archa lakukan. Hanya ini hiburan Archa selama tinggal di Markas.
Mereka mulai memasak atas petunjuk dari Archa. Urca baru tahu kalau orang seperti Zuma tak menyukai manis. Karena itulah mereka membuat kue yang tak terlalu manis hari ini. Urca merengut. Ia lebih suka manis. Apalagi jika ada coklat taburnya. Terjadilah perdebatan sengit antara Zuma dan Urca yang di akhiri dengan keputusan akan membuat tiga jenis kue. Ya ampun, rasanya seperti memiliki dua adik bagi Archa. Mereka berdua bertengkar dan berdebat hanya karena hal kecil sepanjang proses memasak.
“Tolonglah, jangan banyak berdebat. Aku pusing mendengar kalian,” pinta Archa sangat memohon. Bisa-bisa dirinya terkena stroke nanti.
KAMU SEDANG MEMBACA
Black Savior
Science Fiction-Cerita ini ada sejak sekitar bulan Juni 2016- Setelah para 'makhluk' itu lenyap, mereka pikir 'dia' juga ikut lenyap. Anggapan lain mengatakan 'dia'-lah yang membawa mereka. Para 'makhluk' mengerikan yang meneror sejak beberapa tahun lalu menghancu...