5| Kacau
"MAU ... masuk?"
Pertanyaan itu masih terngiang di kepala Kila saat ditatap lama bola mata hitam laki-laki di depannya. Kila ingin merutuki keringat di tangan, juga dirinya yang bodoh. Bisa-bisanya ia kehabisan kata dan kemampuan berpikirnya seolah kehilangan daya. Satu lagi, wangi yang menguar dari tubuh orang itu entah kenapa membuat jantung Kila semakin berdentum tak karuan.
Sungguh, Kila ingin mengeluarkan suara. Namun rasanya tak satupun kata berhasil lepas dari mulutnya. Kila berkali-kali menenangkan diri dengan meraup udara pelan, juga berulang kali otaknya berputar mencerna berbagai kemungkinan. Kenapa detak cepat jantungnya belum juga mau mereda?
Saat tegang itulah untungnya ada ponsel berbunyi, menyelamatkan Kila dari tatapan intens laki-laki tersebut.
"Ya?" tanya si Kacamata di depannya usai mengambil ponsel dari saku celana dan mengarahkan ke telinga.
Masih dengan hati yang berdegup, Kila bingung. Jelas. Apa yang harus ia lakukan sekarang? Haruskah ia kabur diam-diam selagi ada kesempatan? Atau ia harus menunggu? Kila mencoba menanyakan pada isi hatinya. Kemudian rasa penasaran kuat, rasa ingin tahu lebih, dan segala tanda tanya butuh jawabanlah yang ternyata mendominasi.
"Hmm, iya. Iya." Seluruh fokus si Kacamata masih pada panggilan ponselnya. Wajahnya serius, berbeda dengan senyum manis yang tadi Kila lihat.
Di kesempatan itu, Kila memerhatikan laki-laki tinggi di depannya dari atas hingga ke bawah. Rambut mohawk berantakannya, mata hitamnya, hidung sedangnya, bibir tipisnya, leher jenjangnya, bahu bidangnya, termasuk otot-otot di lengan yang sedikit terbentuk meski berbalut kaos. Andai tidak dalam keadaan seperti ini, Kila akan mengakui bahwa orang itu menarik-bahkan sangat menarik.
Apa Kila baru saja merasa dia menarik? Oh Tuhan. Itu gila.
"Aku harus pergi." Suara berat nan rendah itu membuyarkan pikiran Kila. Kila baru menyadari. Sejak kapan panggilan ponselnya selesai?
Mata Kila membulat, ia kembali awas. Hati dan otaknya seolah kembali memasang kuda-kuda siap melawan, takut orang itu melakukan tindakan tidak terduga seperti di awal pertemuan mereka. Sebentar. Apa hanya Kila yang tadi mendengar panggilan aku keluar dari mulut laki-laki itu? Bukankah sebelumnya ia menyebut dirinya gue pada temannya di belakang?
"Mau ... ikut?" tanya si Kacamata dengan kedua alis terangkat.
Kila terkesiap. Ia baru menyadari bahwa ekspresi laki-laki di depannya seolah mengatakan: Aku bilang, aku harus pergi. Kamu masih di sini. Kamu mau diam terus atau bagaimana? Memahami gelagat itu, Kila menggeleng cepat.
Kila menarik napas panjang, berusaha menepis rasa tegang . Bagaimana pun Kila ingin laki-laki di depannya itu tidak menganggap ia kikuk, meski sebenarnya ia yakin ekspresi dirinya sudah terbaca. Kila menunduk pamit sebelum kemudian berbalik dan memilih pergi dengan mata terpejam, juga bibir digigit-merepresentasikan hatinya yang sibuk merutuki diri.
"Hey!" Panggilan laki-laki itu membuat Kila menghentikan langkahnya, lalu refleks menoleh. "Nanti ketemu lagi," ujarnya seraya memamerkan kembali lesung pipi pada senyumannya.
Kila langsung berhenti bernapas.
Oh Tuhan. Apa katanya? Bertemu lagi? Mata Kila terbelalak lebar. Kila mengabaikan ucapan itu dan kembali berbalik. Demi jantungnya agar tetap sehat, Kila langsung saja berjalan cepat. Ia butuh udara segar, juga tempat yang layak untuk otaknya berpikir jernih. Kila ingin air minum sekarang juga.
+++++
"No, dompet gue ketinggalan!" seru Isell dengan kaki kanan menghentak lantai kantin. Isell berdiri beberapa langkah dari samping kasir dengan tangan kiri memegang nampan makanan dan tangan kanan menempelkan ponsel ke telinga.
KAMU SEDANG MEMBACA
BassKiss
Teen FictionPemenang THE WATTYS 2016 kategori #PilihanStaf dan #EdisiKolektor [15+] Oh Tuhan, umpatan macam apa yang harus Kila keluarkan ketika ia dicium laki-laki di tempat ramai? Parahnya, laki-laki itu tidak dikenalnya. "Brengsek!" menurut sahabat dekat Ki...