6| Penculikan

62.3K 6.3K 921
                                    


6| Penculikan


SENYUMAN ORANG ITU masih terlampir sempurna, memacu jantung Kila untuk terus dipompa. Kelas cukup hening untuk penghuninya mendengar jelas cerita pak Agus tentang pengambilan data uji hipotesis. Namun tidak bagi telinga Kila. Jangankan sempat mendengar suara, untuk mengambil napas saja rasanya berat.

"Perhatiin dosennya," ujar pelan laki-laki yang menempati fokus utama Kila itu. Dagunya bergerak, menunjuk ke arah pak Agus di depan kelas. Demi Tuhan, Kila ingin merutuki senyuman manis dan gaya tenangnya itu!

Ini beneran dia muncul?! Gue nggak mimpi kan? Kila membatin seraya menelan ludahnya berat. Tenggorokannya terasa kering seketika. Dia siapa?! Bisa banget munculnya di kelas gini. Gue jadi susah buat macem-macem! Lagian, ngapain dia di sini? Masa ngikutin gue? Pertanyaan-pertanyaan itu hanya tertahan dalam benaknya.

Tiba-tiba, Kila ingat sesuatu. Kila memeriksa sekelilingnya dan sesuai dugaan, mata satu kelas selain pak Agus tengah diam-diam melirik ke arahnya. Ada yang menatap aneh, ada yang senyum-senyum sambil berbisik dengan teman sebelah. Bagaimana tidak? Mahasiswa di kelas itu hanya tiga puluh sekian. Pasti mereka sadar jika ada orang asing datang.

Mampus, La. Lo pasti abis ini digosipin. Lagi duduk di tengah, pula!

Jantung Kila tak karuan saat ia menoleh lagi ke arah laki-laki itu—yang masih menatap Kila dengan tenang. "L-lo ... ng-ngapain ... di ... sini?" bisik Kila hati-hati. Akhirnya Kila sanggup bersuara juga. Ada perasaan takut yang cukup besar dalam dadanya. Bagaimana jika dosennya sadar kelas mereka didatangi penyusup?

Bana tersenyum—lagi. Matanya melirik sebentar ke arah meja sebelum kemudian berkata, "Nengok kelas kamu ..., Kila."

Panggilan nama Kila pertama yang keluar dari mulutnya itu terasa begitu mendebarkan, bagi Kila. Kila menatap heran padanya. "Lo ... tau nama ... gue? K-kok bi ... sa?" tanya Kila pelan. Kila menatap lurus matanya, menembus kacamata yang tengah dikenakannya. Lagi-lagi, hidung Kila bisa mencium bau tubuh laki-laki itu. Wangi maskulin yang menarik hidungnya untuk terus bertahan.

Orang yang ditanya hanya menjawab dengan anggukan ringan. Ada mimik bangga di sana.

Sejak kapan dia tahu nama Kila? Kila mencoba melirik ke arah meja yang ditatap laki-laki itu tadi. Oh, pantas. Nama Kila tertulis besar-besar di sampul bindernya. Mungkin orang itu melihat dari sana. Nggak mungkin kan kalo dia udah tau nama gue sejak awal? Nggak mungkin, kata batin Kila.

"Abis ini aku izin buat culik kamu."

Dahi Kila merengut langsung. "Penculik mana yang mau nyulik minta izin dulu?" Kila mati-matian menahan degupan di dadanya.

"Ini," tunjuk telunjuk Bana pada dirinya sendiri.

Kila memalingkan wajahnya malu. "Nggak mau," kata Kila setelah menoleh lagi. Kila berusaha memasang ekspresi serius di wajahnya. Kila harus ingat kalau dia adalah si Pencium itu. Kila harus hati-hati terhadapnya. Harus.

"Kita ke basecamp kemarin. Kamu bukannya ada perlu?"

Kila diam berpikir. Bagaimana ini? Satu sisi, ia takut harus menerima ajakan orang itu. Kila belum mengenalnya. Bagaimana jika dia macam-macam lagi? Namun justru itulah masalahnya. Kila ingin tahu siapa dia. Kila penasaran, sangat. Haruskah Kila mengorbankan gengsinya demi jawaban segala tanda tanyanya?

Bibir Kila mengerucut. "Mana ada penculik bilang tempat penculikannya."

Bana tersenyum seraya mengganti posisi tubuhnya menjadi lebih menghadap ke depan kelas. "Dengerin aja dulu bapaknya. Kasian," ujarnya tanpa melihat ke arah Kila. Bana sudah berlagak fokus melihat pak Agus, seolah benar-benar memperhatikan materi yang disampaikan.

BassKissTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang