Pencarian Kedua(?)

57 15 4
                                    

Ketiga anak manusia itu memakai pakaian serba hitam. Topi yang menutupi wajah mereka. Sapu tangan hitam bahkan sepatu hitam. Ketiga anak itu berjalan mengendap di sepanjang koridor yayasan. Hari sabtu SMK maupun SMA Binkar libur. Dan koridor yayasan pukul lima sore sangat terasa sepi.

Mereka mengendap ke ruang bawah tanah. Di putarnya kenop pintu itu dan terkunci. Salah seorang dari mereka mengeluarkan dua alat seperti besi berukuran panjang namun pipih. Di masukannya alat itu ke lubang kunci lalu di gerakkan dan entah kenapa pintu itu langsung terbuka.

Salah seorang yang berbadan jauh lebih besar itu berjalan masuk mendahului yang lainnya. Mereka bertiga masuk kedalam ruangan nan gelap itu. Salah seorang yang berbadan jauh lebih kecil menyalakan senter.

"Cier, senternya jangan yang itu!" ucap Ven dengan berbisik. Seseorang berbadan paling kecil itu adalah Arfustus Cier. Cier mematikan senter di tangan kanannya dan menyalakan senter di tangan kirinya.

Seseorang yang berbadan paling besar di antar mereka bertiga menggeser lemari besar di hadapan kedua orang yang menatap seseorang berbadan besar itu tajam.

"Berhenti menatapku seperti maling!" pekik Zen berbisik.

"Zen suaranya terdengar cukup nyaring dan menggema, bisakah lebih pelan?" tanya Ven dengan halus. Zen yang mengerti pun menggeser lemari itu lebih pelan.

Lemari itu bergeser terganti pintu besar yang mengerikan. Pintu itu tidak terkunci seperti kemarin. Di bukanya pintu itu, bau apek tercium. Mereka berjalan beriringan. Pintu ini seperti pintu di lab komputer, dan atap gedung ini. Namun, ruangan ini jauh terlihat seperti labirin dengan banyak pintu.

Ven berjalan mendekati lukisan berwarna darah. Gambar sesosok pria berambut panjang. Gerry Nauval, begitu nama itu tertera di bawah lukisan hitam bercampur darah. Tulisan tangan ini terlihat begitu asing. Bahkan lambang TK di bawahnya.

Zen berdiri di belakang Ven dan menepuk pundak Ven. Cier melihat gambar gadis tanpa busana. Zen dan Ven berjalan mendekati lukisan itu. Lagi, tulisan tangan yang berbeda tertera. Kali ini gambar Ferana gadis pintar dari SMA Binkar. Tulisan kali ini bertulis inisial ID.

"Kenapa setiap foto berbeda tulisan? Apa setiap korban berbeda pelaku? Lalu bagaimana mencari otak sang pelaku jika benar setiap pelaku pembunuhan berbeda orang?" pikir Ven

Tanpa sengaja Cier hampir menjatuhkan lukisan yang sama seperti Gerry. Namun lukisan Gerry jauh lebih bermartabat. Sepucuk surat jatuh dengan tulisan latin berwarna merah.

Inilah akhir hidupmu. Gadis sepertimu tidak pantas di tempat seperti ini. Dunia indahmu hanya sementara. Seminggu menjadi budak di antara laki-laki yang haus akan seks. Kematianmu hal terindah untukku..

ID

Cier membisu sebuah ketakutan menyerangnya. Ven menatap tulisan itu dengan tajam dan membedakan dengan tulisan kertas untuk Gerry. Sementara memperhatikan kertas di tangan Ven sebuah ingatan tentang inisial ID teringat namun ia masih ragu.

"Jangan membuang waktu memikirkan hal itu, kita lihat dulu setiap pintu" ucap Zen membuat lamunan Ven terhenti, Ven yang sadarpun menganguk dan berjalan terlebih dahulu didepan.

Mereka bertiga memasuki pintu berlambang B. Suara jangkrik dan beberapa makhluk lainnya terdengar di sepanjang lorong. Beberapa kali Ven berlari kearah Zen dan memeluknya. Hingga Zen yang tak mengerti dengan Ven pun berkata dengan nada halus.

"Kamu suka sama aku?" tanya Zen dengan wajah datarnya.

"Ihhh! Pede banget, itu tuh ada kecoa!" ucap Ven membuat Zen dan Cier tertawa pelan. Sebuah pukulan mendarat di perut Zen dan Cier secara bersamaan. Membuat dua orang itu terbatuk-batuk.

"Kamu pengen buat aku mati disini!" pekik Zen yang di anguki setuju oleh Cier.

"Oh bagus deh!" ucap Ven berjalan duluan. Sampai Ven tidak sadar jika mereka tersesat di lorong penuh pintu itu.

***

Ven berjalan sambil berbicang-bincang dengan sendirinya. Dia masih belum sadar jika dia terpisah dengan teman-temannya. Dan saat seekor kecoa berada di kakinya. Ven hampir saja menjerit namun dengan cepat dia menggigit bibir bawahnya hingga berdarah. Dia berjalan ke belakang dan menyadari tidak ada orang kecuali dia. Ven mendengus kasar dan mengambil ponselnya yang berada di saku jaketnya.

"Sial! Gak ada jaringan!" pekik Ven sambil menggoyangkan ponsel canggih itu. Lalu dia mendengar sebuah langkah kaki. Dengan cepat Ven mencari tempat persembunyian. Di bukanya pintu yang berada tepat di sampingnya dan masuk kedalam memberikan sedikit celah.

Suara itu semakin mendekat. Dan semakin mendekat. Ven menunggu dengan tidak sabaran sekaligus takut. Ada beberapa ekor kecoa di dekatnya.

"Sampai saat ini tidak ada yang curiga, dan saya sudah menukar hasil autopsi dari pihak kepolisian" ucap orang itu, wajahnya tidak asing!. Ven menutup bibir nya dan menahan dirinya agar tidak keluar dan menghajar orang tersebut. Dia harus menunggu dan menemukan beberapa informasi dan emosinya saat ini benar-benar tidak di butuhkan.

***

Zen dan Cier terus berjalan ke depan berharap akan menemukan Ven yang menghilang. Terdengar suara pintu di buka dan reflek mereka berlari mencari tempat sembunyi. Masuk kedalam pintu yang cukup dekat di depan mereka. Dan berjalan masuk kedalam ruangan yang bercahaya terang. Sebuah lampu besar berada di tengah ruangan. Di sekeliling lampu itu ada beberapa botol berisi darah yang cukup banyak. Mereka mendekat ke sekeliling lampu besar itu. Setiap botol memiliki tanda. A, B, AB dan O.

"Seperti nya ini benar-benar darah manusia" pikir Zen dan menyentuh botol itu.

Mengambil empat botol bertanda berbeda. Lampu itu meredup, tapi tetap bercahaya hanya saja tidak seterang awalnya. Cier kembali dengan sebuah botol berwarna hitam pekat. Membuat kedua alia Zen menyatu.

"Ke sini, lihat lah!" ucap Cier sambil menunjuk kearah lemari besar.

Lemari itu berisi banyak botol yang sama seperti di genggaman Zen. Zen kembali mengambil dua botol itu dan memasukkannya kedalam tas. Sebuah angukan mampu membuat Cier mengerti. Cier dan Zen berbalik ingin kembali mencari Ven namun sebuah gerakan di ujung pintu membuat mereka menoleh dan saling bertatapan. Dengan pelan Zen berjalan maju di depan dan memegang knop pintu. Di bukanya pintu itu dan melihat betapa berantakannya ruangan di depan mata mereka. Satu sosok terikat di tengah ruangan dengan bibir tertutup kain. Sosok itu menggeleng kepada Zen dan Cier. Membuat mereka berdua menatap sosok itu dengan tatapan kosong.

"Ven?" cicit mereka berbarengan membuat Ven menutup mata nya dan menggeleng.

Apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa Ven berada di ruangan dengan tangan terikat dan beberapa luka beda tajam di tubuhnya masih mengeluarkan darah. Lalu, apa yang harus mereka berdua lakukan untuk membantu Ven. Ven akan kehabisan darah jika terus seperti itu. Cier pun mengambil note kecil di kantongnya dan membuka beberapa lembar di halaman note. Dan mengambil sebotol darah bertuliskan AB. Dengan cepat di buka nya tas miliknya dan mengambil beberapa alat suntik dan alkohol. Di sterilkannya suntikan itu dan mengambil darah di botol itu dan berjalan mendekat kearah Ven yang setengah sadar. Cier terlihat takut namun tidak ada keraguan di matanya. Ini pertama kalinya dalam hidupnya menginginkan keselamatan seseorang tanpa memikirkan keselamatannya. Entahlah, nalurinya berkata dia harus membantu Ven yang kesulitan saat ini. Dia sudah diambang kematian saat ini. Dan satu-satunya cara adalah memberikan transfusi darah meski sebenarnya ini di larang jika di luar rumah sakit. Cier mempunyai firasat buruk jika dia membiarkan Ven seperti itu terus. "Maju lah bantu dia, Dia telah membantumu bukan? balas lah kebaikannya." suara hati kecilnya terus menerus meminta nya maju.

***

DEATH LOVETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang