(Author Pov)
Hari libur seperti ini semua kelas bahkan lorong kelas terlihat sangat menyeramkan. Siapa sangka sekolah elit ini sama seperti sekolah pada umumnya. Sepi dan menakutkan. Hanya ada beberapa lampu yang menyala padahal ini masih siang hari. Namun karena gedung jurusan komputer ini membelakangi cahaya matahari ketika siang hari suasanya akan sangat gelap, belum lagi korden di setiap kelas yang menutupi pencahayaan saat ini membuatnya semakin gelap. Suara langkah kaki yang biasa saja dapat menggema seperti sengaja di hentak-hentakkan. Suara ranting pohon beradu terdengar bahkan sangat jelas. Ini mengingatkanku pada malam pertama kami. Jangan berpikir hal aneh, maksudku adalah malam pertama kami bertemu dan menemukan ruang rahasia di gudang bawah tanah. Ruang yang membuat kami bertiga menyatu walau sebenarnya sulit karena sifat kami yang saling bertolak belakang. Berbeda denga Ven yang netral dan terkesan mudah bergaul. Aku dan Cier lebih sulit untuk mengungkapkan keinginan kami, namun dalam hal ini pemikiran kami seolah menyatu dan menjadi satu arah. Lihat saja tanpa di perintah mereka tahu apa yang harus mereka lakukan.
Salah satu keahlian yang di miliki Cier yang tidak mampu untukku lakukan adalah komputer, benda canggih yang sulit ku mengerti sebenarnya aku bisa namun menatap komputer lebih dari tiga puluh menit membuatku mengantuk. Itu lah manusia dengan masing-masing bakatnya, sedangkan seorang gadis mungil layaknya Ven mungkin tidak sulit untuknya beradaptasi. Dia mampu mengendalikan orang-orang di sekitarnya tanpa mereka sadari, itulah salah satu dari kelebihannya. Ven memutar kenop pintu lab dengan pelan namun sepertinya terkunci. Dengan kesal dia mengambil sesuatu dari saku celananya dan mengarahkan benda yang sama seperti masuk ke gudang bawah tanah. Ven tersenyum penuh kemenangan saat ruangan di depannya terbuka.
"Huh! Kamu berbakat jadi maling Ven" ucap Cier sambil masuk ke dalam ruangan dan mendapat hadiah tendangan saat dia hendak berjalan mendahului Ven. Cier mendengus kasar dan Ven dengan tingkahnya seperti biasa yang kekanankan, memeletkan lidahnya dan berjalan mendahului kami. Suasana tegang di antara kami perlahan cair. Lihat bagaimana caranya dia mengendalikan keadaan disini lebih tepatnya mengendalikan kami.
Suasana lab tampak sangat sepi, beberapa komputer yang terbongkar terhambur tak berdaya mengenaskan di atas meja-meja. Cier berjalan lebih dulu dan mengambil beberapa kabel dan semacam RJ45(sambungan semacam usb namun bukan usb*cari diinternet gue susah jelasinnya wkwk :v*).
Entah apa yang di lakukan Cier saat ini. Dia mengambil beberapa kabel panjang lainnya dan mengikatnya di depan pintu pas sepinggangnya. Aku melihat Ven asik mendorong lemari besar yang berisikan beberapa alat komputer lainnya. Aku berjalan pelan ke arahnya dan membantunya mendorong. Dinding tepat belakang lemari itu masih menempel jelas bekas darah dan bau amisnya masih tercium sangat jelas. Ven menendang dinding tepat di sebelah jejak darah itu dan pintupun terbuka. Ku lihat dari ekor mataku Cier berjalan mendekat ke arahku. Cier mendorong tubuh kami berdua masuk kedalam ruangan dan melakukan hal yang sama namun kali ini tali itu di ikat sekitar di atas mata kakinya dan berjalan ke arah kami. Aku menatap Cier mencoba bertanya dalam diam karena jelas akan menggema jika kami bersuara barang sedikit.
"Bang Vandi bilang beri sedikit jebakan, yaudah aku memberi sedikit atau beberapa jebakan di tempat yang cocok. Dan aku juga udah bilang sama Bang Vandi kita melakukan gerak cepat!" ucapnya pelan yang ku hadiahi anggukan berbeda dengan Ven dengan kedua jempolnya terangkat. Dengan senyum lebarnya yang membuat... entahlah hatiku berdebar? Berdetak? Atau ingin memberitahukan padaku jika aku masih hidup.
Kami berjalan dalam diam, Ven ku biarkan di posisi tengah karena kondisinya yang belum stabil. Dan aku memimpin di depan dengan senter redup andalan kami. Ada dua jalur di hadapan kami. Tangga ke atas dan tangga ke bawah. Sudah jelas tangga ke atas menuju atap gedung inti sekolahku. Dan ke bawah ruang bawah tanah. Aku berjalan pelan menuruni undakan tangga yang sangat rapuh itu dan Cier menyenteri bagian tangga sedangkan aku menyeter bagian depan ruangan. Banyak lukisan-lukisan dengan tulisan kecil di bawahnya. Aku berhenti sejenak menatap lukisan di hadapanku saat ini. Dan membaca tulisan kecil di ujung kiri lukisan. ReLaNa 92. Sepertinya ini adalah lukisan siswi tahun 1992 yang menghilang. Dengan pelan aku berjalan melanjutkan perjalanan kami. Setiap dinding berjarak sepuluh langka maka akan ada lukisan yang menghiasi setiap langkah kami. Terhitung sudah lebih dua puluh lukisan yang berarti setiap tahunnya lukisan ini selalu meningkat terbukti saat ini sudah semakin banyak lukisan di tahun yang sama. Cier berjalan dengan pelan di belakang Ven dia berhenti ketika melihat lukisan di tahun 1993. Ven dan Zen berhenti dan memutar tubuh mereka secara bergantian dan menatap Cier yang terpaku pada salah satu lukisan yang ada di hadapannya. Cier menyentuh lukisan seorang pria yang berwajah mirip dengan Cier walau hanya dari lukisan tapi nama yang terletak di pojok kanan lukisan itu menjelaskan bahwa sosok itu adalah keluarga Cier.
Ven dan Zen melangkah pelan mendekati Cier yang masih terpaku pada lukisan yang ada di hadapannya. Cier berbalik dan menatap dua orang di hadapannya dengan mata berkaca-kaca. Cier ingin menyuarakan suaranya namun ketika dia membuka mulutnya dan mencoba berbicara namun tak ada suara satupun yang terdengar Ven melangkah dan memeluk Cier dari samping, Zen menepuk bahu pria bertubuh kecil itu dan menatap kembali lukisan di hadapannya dan bisa melihat jelas lukisannya.
"Aku tidak ingat apa yang terjadi, namun kata ayah aku memiliki seorang abang yang cukup dekat denganku" ucap Cier pelan dan meletakkan tangannya di tulisan kecil lukisan tersebut.
"Mari kita mencari tahu?" ucap Ven membuat Cier menatap Ven dan menganguk mengerti. Jika dia tetap di posisinya sekarang nyawa adiknya akan melayang meskipun bukan telahir dari orang tua yang sama Cier tetap menyayangi sang adik. Biarlah waktu yang akan menjawab tentang keberadaan sang abang yang menghilang cukup lama.
***
Mereka bertiga tiba di lorong yang sama saat di ruang bawah tanah. Dan tentu saja masih sama, banyak pintu yang menghiasi ruangan dimana mereka saat ini berdiri. Ven menggaruk belakang kepalanya dan mendesah kecil lalu tersenyum manis pada mereka berdua yang menatap Ven dengan dahi berkerut.
"Waktu itu kita masuk pintu yang mana?" cicit Ven pelan membuat dua pria berbeda pola pikir dan sifat itu mendesah kecil.
Zen dan Cier menatap satu persatu pintu-pintu yang berada di hadapannya. Dan lagi mereka mendesah bersama. Harusnya mereka meninggalkan sebuah jejak yang tak terlihat agar ketika mereka kembali akan jauh lebih muda. Namun nasi sudah menjadi bubur saat ini, dan tinggallah mereka yang bingung akan apa yang mereka lakukan saat ini.
Ven menatap lukisan Gerry dan berjalan mendekatinya. Tanpa sengaja Ven menginjak sesuatu dan sebuah pintu terbuka di hadapannya menampilkan sebuah penjara kecil namun banyak di ruangan tersebut. Mereka bertiga berjalan beriringan dan menatap tralis penjara satu persatu. Di setiap pintu penjara tertulis sebuah kalimat yang mereka perkirakan adalah nama mereka. Dan saat Ven menatap nama yang berada tepat di sebelahnya yang berhenti saat itu dia mengingat salah satu adik kelasnya yang sekelas dengan Vaskan sang adik. Dia berjalan mendekat pada tralis itu dan melihat orang yang berada di dalamnya dengan mata melebar sempurna. Bagaimana mungkin mereka tega melakukan hal seperti ini pada anak di bawah umur. Saat Ven sampai pada penjara tersebut sosok yang berada di dalam penjara itu tersenyum lemah pada Ven. "Ini bukan pencucian otak!. Ini pencurian Ginjal!" pekik Ven dalam hati.
Mereka bertiga menatap setiap penjara yang ada di ruangan ini dengan pandangan murka. Bagaimana mungkin semua ini terjadi. Saat Ven bergerak ingin membuka penjara yang berada di hadapannya saat ini langkahnya terhenti saat Zen menarik tangannya dan menggeleng tegas membuat Ven mengerutkan dahi bingung.
"Bagaimana mungkin kita menyelamatkannya?" tanya Zen pada Ven yang membuat Cier mengangguk setuju seketika emosi Ven kembali murka mendengar bahwa saat ini dia tak bisa melakukan apapun.
Suara pintu berderit membuat mereka bertiga saling bertatapan dan berpikir keras. Mereka bertiga berlari kecil dan bersembunyi pada lemari besar di sebelah penyimpanan botol-botol inpus.
"Mengapa pintu itu bisa terbuka?" tanya seseorang membuat mereka bertiga menahan napasnya.
"Mungkin Tedri lupa menutupnya!" ucap seorang gadis dengan mata yang terlihat kosong dan hampa.
"Yasudah kembali jaga-jaga aku khawatir mereka bertiga telah sampai di suatu tempat di gedung ini karena kemungkinan mereka mengetahui jalan pintas yang lainnya" ucap orang itu lagi dan melangkah pergi dari ruangan itu.
Mereka bertiga menghembuskan nafas lega saat orang-orang itu tak terlihat lagi. "Hampir saja!" ucap mereka bersamaan.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
DEATH LOVE
Novela JuvenilDua anak manusia yang memiliki kecerdasan diatas rata - rata dan memiliki karakter berbeda. Seperti, Air dan Api yang tak bisa bersatu. Zen dengan ketenangan dan kecerdasannya. Sedangkan, Ven dengan emosinya yang tak dapat di tahan dan daya ingat ya...