Sudah seminggu lama nya dan kami belum menemukan apa pun jejak Lawrensia. Dan beberapa hari ini Ven tidak bisa diam. Semua orang yang berbuat salah di matanya bakal kena kata-kata mutiara nya. Bahkan aku pun harus menuli kan telingaku. Seperti saat ini, kami berdua berada di caffe dekat sekolah.
"Aah dasar sialan! Dasar psikopat bagaimana cara nya kita mencari tahu jika pihak kepolisian tidak mau membantu kita?" ucapnya sambil menggenggam gelas di tangannya erat-erat.
"Tenang lah, jika kamu seperti itu terus hanya akan membuang tenaga mu" ucapku dingin dan menatap beberapa pengunjung caffe.
"Tapi..." ucapan Ven terhenti dan mengikuti arah tatapan Zen. Di sana duduk seseorang dengan pakaian serba abu-abu. Dari bentuk tubuhnya seperti anak cewek tapi dari tingkahnya seperti anak cowok.
Dia menatap kami. Zen membuang arah pandangnya. Namun Ven tidak, dia bahkan balas menatap orang itu. Meskipun di tutupi kacamata hitam dan masker tengkorak. Ven tau, orang itu menatapnya dengan tajam.
"Berhenti menatapnya, dan jangan mencari masalah!" ucap Zen sambil meminum Frappe yang dia pesan. Ven menuruti ucapan Zen dan menatap kaca jendela dengan tidak berminat. Dari kaca Ven melihat orang itu berdiri dan berjalan ke arah meja kami.
Dia meletakkan selembar kertas dengan tulisan latin yang rapi, lalu berlalu pergi.
Ruang bawah tanah, gedung yayasan inti.
Zen menatap punggung yang menjauh itu menaiki kendaraan umum. Ven merebut kertas di tangan Zen dengan kasar membuat Zen mendengus.
"What!" teriak Ven, secepat kilat menutup mulutnya dan menatap Zen.
"Sekarang kita pergi, gak ada keterangan waktu di kertas itu" ucap Zen dan memakai jaket yang dia sampirkan di kursi.
"Tapi bisa aja dia ngejebak kita?" tanya Ven dengan tatapan tidak setuju.
"Aku yakin tidak! Dia sempat menatap kita cukup lama dan membuang muka seperti nya, dia terlihat ragu" ucapku membuat Ven mendengus namun mengikuti ucapan Zen untuk kesekian kalinya.
"Tas mu terlihat berat?" ucap Zen menatap tas yang di pakai Ven.
"Sebenarnya ada hal yang ingin ku beritahukan. Tapi tempat ini tidak aman" ucap Ven mengambil kertas tadi dan memasukkan nya ke saku seragam nya.
"Maksudmu?" tanya Zen dengan kening berkerut.
"Beberapa orang di sini menatapku takut" cengir Ven dengan tampang yang minta di tonjok. Zen hanya mendengus dan mengambil tas di tangan Ven dan menatap Ven tajam.
"Apa isi nya?" tanya Zen dengan mata elang nya.
"Biar aku aja yang bawa!" ucap Ven berusaha meraih tas ransel di tangan Zen namun di tahan oleh lengan keras Zen.
"Kamu bawa tas seberat ini, ke sana ke sini?" ucap Zen sambil berjalan menuju mobil yang di parkir nya yang di ikuti Ven.
"Hah, Ven nebeng ya? Ban motorku kempes" ucap Ven dengan cengiran khas nya.
"Yang nyuruh kamu bawa motor butut mu itu siapa?" tanya Zen dan membuka pintu mobil untuk Ven.
"Jangan gitu, motor itu peninggalan Kakek aku!" ucap Ven dengan gemas ketika Zen duduk dan menarik sabuk pengaman.
"Pantas bunyi nya bikin kuping mendengung" ucap Zen dengan santai. Ven hanya mampu menggepal kan tangan nya dan menatap keluar jendela.
"Maaf ucapanku terkadang memang menyakit kan" ucap Zen dengan wajah datar nya membuat Ven mencibir.
"Tas nya isi apaan?" tanya Zen lagi berusaha mencairkan suasana.
"Palu,tali,gunting,pisau lipat,batu bata dua, dan beberapa hal lainnya" ucap Ven dengan mata tertutup. Zen mengerem mendadak, kepala Ven menjadi korban.
KAMU SEDANG MEMBACA
DEATH LOVE
Novela JuvenilDua anak manusia yang memiliki kecerdasan diatas rata - rata dan memiliki karakter berbeda. Seperti, Air dan Api yang tak bisa bersatu. Zen dengan ketenangan dan kecerdasannya. Sedangkan, Ven dengan emosinya yang tak dapat di tahan dan daya ingat ya...