14. Like A Deja Vu

545 21 2
                                    

Strider
-------------

Hari ini aku berangkat ke kampus setelah salah seorang teman mengabarkan jadwal bimbingan skripsi lewat media sosial. Segera saja aku bergegas. Tetapi begitu tiba di kampus, aku malah disambut lima orang teman seperjuangan yang tengah menanti kedatangan dosen di lobi. Saat aku bertanya pada salah satu dari mereka, dikabarkan bahwa kemungkinan besar dosen itu datang terlambat.

Aku menggerutu seraya menjatuhkan pantat di kursi lobi yang dingin. Nafasku terhela kesal. Kubongkar tas dan membaca ulang draft skripsi yang baru semalam direvisi. Barangkali ada salah tulis atau tidak sesuai dengan keinginan dosen.

Apa mungkin ada kemacetan? Tapi macet di mana? Atau beliau ada keperluan lain? Entahlah. Batinku sibuk bertanya-tanya sembari membaca draft, hingga akhirnya kuhempaskan draft itu di sampingku. Tak lagi fokus.

"Dosennya nggak jadi datang. Ada keperluan mendadak katanya. Jadi bimbingan ditunda besok jam sepuluh."

Aku mengerang frustasi saat mendengar kabar itu. Aku lupa kalau sang dosen bisa membatalkan janji kapan saja. Tak peduli jika mahasiswa sudah menunggu lama karenanya.

Dengan malas aku membereskan semua peralatan ke dalam tas. Lalu melangkah gontai, seperti sudah kehilangan harapan hidup. Tanpa sadar, kakiku sudah mengarah ke kantin.

Kuambil sebotol air mineral dan membayarnya di kasir. Lalu meneguknya begitu saja. Tak sengaja, ekor mataku menangkap bayangan Vivian yang berjalan sendirian ke arah bangku paling pojok. Bergegas kuhampiri gadis itu. Dia tercengang kaget saat aku menepuk bahunya. Melotot kesal. Tetapi aku malah cengengesan sambil mengambil tempat di depannya.

"Ke mana si Keira? Tumben lo nggak bareng?" pandanganku menyapu sekeliling kantin. Barangkali Keira datang belakangan.

"Nggak masuk." Vivian sibuk mengaduk mie ayam agar cepat dingin dan menyuapnya sesumpit.

Mataku membulat. Tumben sekali, batinku.

"Kenapa?"

"Nggak tahu." Vivian mengangkat bahu. "Gue telepon nggak diangkat. BBM, line, whatsapp juga nggak dibales dan cuma ceklis. SMS pun begitu. Nggak ada jawaban. Mungkin henponnya mati dan lupa nge-charge kali."

Aku mendadak gelisah. Tidak biasanya Keira tidak kuliah tanpa kabar. Pasti ada sesuatu yang menimpanya. Aku beranjak dan menepuk bahu Vivian yang menatapku bingung.

"Thank's. Gue cabut dulu."

Vivian mengangguk tak peduli.

Seraya berjalan ke parkiran untuk mengambil motor, aku menelepon seseorang.

"Halo, Dante! Lo tahu Keira di mana?"

"Sakit, Kak. Dia lagi tidur sekarang. Lo ke sini aja," katanya di seberang sana.

Aku terhenti sejenak. "Sakit? Sakit apa?"

"Demam. Mending ke sini aja deh. Badannya panas banget. Tapi sekarang udah agak mendingan dikit sih."

Aku menegakkan motor dan memakai jaket sambil tetap bertelepon.

"Iya ini gue lagi otewe."

Aku langsung memutuskan sambungan. Setelah memakai helm, aku menyalakan mesin. Perlahan, meninggalkan parkiran kampus.

Aku sedikit tak percaya bahwa gadisku kini terbaring sakit. Kemarin dia sehat-sehat saja. Malah sangat ceria seperti biasanya.

Apa ada sesuatu? Apa Ephraline mengganggunya lagi? Atau justru sekarang bukan hanya Ephraline yang mengganggunya?

Oh ya ampun, sepanjang perjalanan menuju rumahnya, pikiranku dipenuhi hal-hal buruk. Semoga dia tidak mengalami apa pun yang aneh.

Aku menghela nafas yang terasa berat. Tiba-tiba merasa seperti deja vu. Dulu aku pernah berada di posisi Keira. Sakit demam hingga seminggu setelah melihat hantu penunggu komplek makam Cina.

Penghuni LainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang