18. Hari Sibuk

524 26 0
                                    

Rencana pembongkaran perpustakaan akhirnya dapat terlaksana hari ini. Itu pun sempat molor dua hari karena Bang Leon ada kesibukan lain yang tidak bisa ditinggal dan baru sempat memenuhi permintaanku pada hari Minggu ini. Untung saja Senin besok adalah libur nasional, jadi aku punya kesempatan selama dua hari untuk memantau sekaligus mengurus keperluan pembongkaran secara di rumah ini, aku yang paling tua. Walaupun adikku laki-laki, tetapi dia belum bisa mengontrol keadaan rumah, dan masih suka bersikap ceroboh.
.
.
.
Semua yang diperlukan untuk pembongkaran sudah dipersiapkan sejak beberapa hari lalu. Aku, Dante, dan Strider secara patungan membeli bahan bangunan yang dibutuhkan seperti semen, pasir, dan segala tetek bengeknya. Vivian menyumbang keperluan pemakaman, seperti kain kafan, kapur barus, bunga-bungaan, dan sebagainya yang akan digunakan jika mayat Ephraline berhasil ditemukan, yang mungkin saja masih sisa tulang-belulang ataupun tanah pemakamannya. Sementara alat-alat pertukangan yang dibutuhkan semacam linggis, cangkul, dan lain-lain, adalah pinjaman dari Bang Leon karena keluargaku ataupun keluarga Strider tidak mempunyainya.
.
.
.
Strider telah melakukan negosiasi agar disediakan tanah pemakaman untuk menguburkan mayat Ephraline nantinya. Dibantu Bang Leon yang juga bersusah payah memesan nisan dengan biaya patungan. Syukurlah tanah pemakaman itu cepat didapat walau harus bertumpuk dengan makam sebelumnya. Tak apalah, itu sudah cukup untuk menguburkan Ephraline secara layak sesuai keinginannya. Lagipula, tanah pekuburan di wilayah kami lumayan mahal.
.
.
.
Malam sebelum pembongkaran, Vivian masih sempat membuat adonan dari bahan makanan yang dibelinya kemarin. Dia ingin membuat cemilan agar tidak perlu membeli kue-kue yang harganya bisa menguras kantong. Aku mempersilakannya untuk bereksperimen di dapur selama dia bisa bertanggung jawab membersihkannya kala selesai. Sementara aku menghabiskan malam dengan mengobrol bersama Strider di ruang keluarga seraya menyaksikan drama Korea favorit. Sesekali Dante menimpali obrolan kami, namun sekitar jam sepuluhan, ia pamit tidur.
.
.
.
"Besok Bang Leon udah fix mau datang, kan?" tanyaku tanpa melepas pandangan dari layar tivi.
.
.
.
"Iya. Bilangnya sih gitu. Dia udah selesai dengan proyek sebelumnya. Jadi kemungkinan besar pasti datang," jelas Strider sambil mencomot snack beras dan mengunyahnya.
.
.
.
Aku manggut-manggut.
.
.
.
"Syukur deh. Semoga nggak ketunda lagi. Biar gue nggak digangguin mulu sama ntu hantu," seruku yang diiringi nafas lega.
.
.
.
Strider menatapku.
.
.
.
"Emang dia masih gangguin lo, Kei?"
.
.
.
Aku mengangkat bahu, enggan bicara. Tetapi hal itu diartikan lain olehnya.
.
.
.
"Jyah, kirain masih gangguin lo," dengusnya kecewa.
.
.
.
"Hmm... kemarin malam sih. Pas ortu gue baru aja berangkat ke Solo. Pas kalian datanglah."
.
.
.
"Serius?" raut wajah Strider tampak tak percaya. Aku mengangguk. "Gangguin lo gimana?"
.
.
.
"Yaa gitu deh. Kayak ada yang getok-getok keramik. Suaranya persis seperti yang pernah gue denger waktu itu. Kejadiannya pas dini hari kayaknya. Entahlah, lupa-lupa inget."
.
.
.
"Kok gue nggak dengar apa-apa ya?"
.
.
.
"Kalian lagi pules banget mungkin. Atau sengaja nggak dikasih dengar dengan maksud pengin nakutin gue dan Dante. Sebab waktu itu juga gitu, orangtua kami nggak dengar apa pun. Cuma kami aja yang dengar."
.
.
.
"Jadi Dante juga dengar?"
.
.
.
Aku mengangguk lagi. Konsentrasiku pada serial drama di depanku langsung buyar karena diajak ngobrol Strider tentang kejadian semalam.
.
.
.
Iya, malam pas orangtuaku pergi memang ada kejadian lagi. Persis seperti saat itu. Mendadak bulu kudukku terasa berdiri semua ketika mengingatnya.
.
.
.
Aku tahu Dante juga mendengar setelah iseng BBM-an ke dia dan bertanya tentang suara aneh di perpustakaan. Dia langsung membalas, bahkan katanya tengah meringkuk ketakutan dan hampir memeluk Strider saking parnonya terhadap suara itu. Aku hanya bisa mendengus geli bahkan pura-pura memakinya agar tidak macam-macam pada lelaki kesayanganku.
.
.
.
"Ya sudah, semoga malam ini nggak ada kejadian lagi." Tangan Strider terulur dan membelai kepalaku yang hanya mengangguk dan mengamini. "Tidur sana! Besok sibuk lho! Harus bangun pagi-pagi."
.
.
.
"Nanggung bentar lagi kelar," elakku pelan, beranjak ke pelukannya.
.
.
.
"Pokoknya abis ini harus tidur ya!" paksanya.
.
.
.
Aku memutar mata, malas menjawab.
.
.
.
.
.
***
.
.
"Assalamu alaikum."
.
.
.
Aku sedang menggoreng bakwan jagung pagi itu ketika serombongan teman-teman Strider datang ke rumah. Aku melongokkan kepala sejenak. Lalu kembali pada kesibukan. Ada tiga orang, tetapi aku hanya kenal dengan Bang Leon. Itu pun cuma tahu nama dan tidak akrab.
.
.
.
"Wa alaikum salam."
.
.
.
Aku memberi kode pada Vivian agar menyambut mereka. Dengan tanggap, gadis itu mengangguk. Ditinggalkannya kesibukan di dapur dan melayani tamu. Berasa di rumahnya sendiri.
.
.
.
"Lho, tuan rumahnya ke mana? Kok lo yang keluar, Vi?"
.
.
.
"Oh, lagi sibuk, Bang. Silakan duduk dulu."
.
.
.
Mulai terdengar keriuhan dari teman-teman Bang Leon. Entah sedang membahas apa. Suara-suara mereka terdengar seperti sekumpulan lalat di telinga karena aku tak terlalu mendengar jelas. Sesekali Bang Leon menanggapi obrolannya dengan tawa.
.
.
.
Vivian balik lagi ke dapur. Dengan cekatan, ia membuat minum. Mengambil sebotol sirup di kulkas, memecah balok es, menambah air ke sebuah teko besar. Aku sampai bergeleng-geleng sambil berdecak. Sedikit kagum. Sesekali kutiriskan bakwan yang sudah matang sebelum meletakkannya di atas piring ceper.
.
.
.
"Bakwannya udah banyak yang matang, Kei?"
.
.
.
Aku mengangguk. "Nih, tinggal dikit lagi." aku menunjuk sisa adonan di tangan. Lantas melirik pada piring ceper yang sudah penuh oleh bakwan. "Oh iya, sekalian lo bawain tuh makanan yang udah jadi ke depan gih. Gue masih riweuh. Bentar lagi mau nggoreng pisang. Adonannya udah ada, kan?"
.
.
.
Vivian membuka kulkas dan menarik sebuah baskom kecil yang berisi adonan tepung cair dan pisang. Lantas disodorkannya padaku.
.
.
.
"Nih. Begitu adonan bakwannya abis, langsung goreng aja. Udah gue siapin dari semalem kok."
.
.
.
"Wuih, sempat-sempatnya lo nyiapin kayak beginian," cetusku takjub.
.
.
.
Vivian mendelik. "Emangnya lo. Pacaran mulu sama kakak gue." ia segera menenteng teko yang berisi es sirup di tangan kiri dan gorengan bakwan jagung di tangan kanan dan menghilang di balik tembok dapur.
.
.
.
Aku terkikik geli seraya meletakkan adonan pisang goreng ke dalam wajan yang berisi minyak panas.
.
.
.
***
.
.
.
Pekerjaan di dapur sudah beres. Aku melenggang keluar untuk mengurusi yang lain. Terlihat sibuk di sana-sini. Mondar-mandir. Ada yang memasukkan buku-buku ke kardus besar yang entah dapat darimana dan menumpuknya di sudut ruangan. Ada yang mengeluarkan rak buku. Ada yang mengaduk semen. Saat ruangan terlihat lengang, ada beberapa yang mengetuk keramik dengan linggis, lalu memecahkannya. Ruang perpustakaan seperti akan dirombak total. Biarkan sajalah, asal bisa memindahkan Ephraline ke tempat selayaknya.
.
.
.
Aku sibuk menata aneka cemilan yang dibuat ke meja makan. Vivian sibuk membantu Dante membereskan buku-buku koleksiku yang lumayan banyak. Strider sibuk menghancurkan ubin dengan linggis yang diselingi obrolan ringan bersama Bang Leon dan teman-temannya.
.
.
.
Jika tidak ada kerjaan, aku sibuk memantau para tukang. Serasa jadi mandor yang memperhatikan kerja mereka. Atau sesekali mengajak ngobrol mereka, atau bahkan mengganggu Strider dan Dante. Aku hanya cengar-cengir saat melihat mereka memberengut karena merasa terganggu.
.
.
.
Vivian juga melakukan hal yang sama. Kalau sudah lelah, dia hanya duduk manis di sofa ruang tamu sambil membaca buku koleksiku.
.
.
.
Saat Strider mengetuk keramik di perpustakaan paling ujung, di mana merupakan tempat penampakan Ephraline, dia menghentikannya sejenak. Lantas meminta Bang Leon mundur.
.
.
.
"Kenapa?" kening Bang Leon berkerut bingung dan kemudian menghentikan aktivitasnya.
.
.
.
"Gue ngerasa ada yang aneh, Bang," jawab Strider sembari melanjutkan aktivitasnya dengan intens dan teliti seakan hendak mencari posisi.
.
.
.
"Aneh gimana?"
.
.
.
"Bentar." Strider mengetuk lagi, lalu berhenti. "Coba ke sini deh, Bang." tangannya melambai agar Bang Leon segera mendekat.
.
.
.
"Tolong bantuin bongkar sebelah sini!" perintah Strider sambil memberi contoh pada Bang Leon yang segera disanggupi.
.
.
.
"Emang ada apaan?"
.
.
.
Aku yang menyaksikan hal itu sontak semakin mendekati mereka dengan rasa ingin tahu yang sangat besar.
.
.
.
"Bunyinya beda, Kei. Kemungkinan besar letak mayatnya di sini, sesuai sama yang lo mimpiin." Strider terus melanjutkan aktivitasnya.
.
.
.
Mataku membulat. "Masa?"
.
.
.
Lelaki itu mengangkat bahu. "Feeling gue sih begitu."
.
.
.
"Ya udah terus aja kerjain. Nanti juga ketahuan."
.
.
.
"Coba pinjem cangkulnya, Bang," pinta Strider lagi.
.
.
.
Cangkul yang sedari tadi tergeletak di sudut ruang begitu saja kini sudah berpindah ke tangan Strider yang langsung memulai pekerjaannya. Ia mencangkul pelan, tak peduli dengan peluh yang mulai membanjiri. Beberapa dari mereka hanya memperhatikan, menatap penasaran, menanti kejutan yang mungkin datang.
.
.
.
Strider berhenti sejenak. Merasa janggal. Diambilnya linggis, menusuk pelan. Terkesiap. Ditatapnya satu per satu manusia yang ada di ruang perpustakaan. Lantas dibersihkannya area itu dengan tangannya.
.
.
.
"Hah?"
.
.
.
Mataku melotot dengan mulut menganga saat penelusuran yang dilakukan Strider membentuk suatu pola. Aku berjongkok sambil terus memperhatikan Strider bekerja.
.
.
.
"Ini makamnya, Kei!" seru lelaki itu.
.
.
.
Strider terus menggali tanah dengan kedua tangan. Sesekali diambilnya sekop. Ia tak ingin merusak tulang belulang yang ada di sana. Tulang belulang itu sangat rapuh. Mungkin karena sudah terkubur lama. Aku memberikan sebuah kain kafan pada Strider agar tulang belulang itu dapt terkumpul dan terbungkus.
.
.
.
Bang Leon dan teman-temannya melakukan hal.yang sama. Mereka tampak sangat berhati-hati karena tak ingin merusaknya. Dikumpulkannya tulang belulang itu pada kain yang berbeda-beda. Setelah yakin tidak ada yang tertinggal, mereka menyatukan semua penemuan itu.
.
.
.
Aku seperti melihat sesuatu yang mengkilap. Kutajamkan indera penglihatan sambil tanganku mulai menggaruk tanah dengan sekop. Nafasku tercekat kemudian.
.
.
.
Sebuah jari. Lengkap dengan cincin yang masih terpasang. Dugaanku bahwa itu adalah cincin kawin milik Ephraline. Terbuat dari emas karena warnanya yang kuning.
.
.
.
"Tunggu! Ini ketinggalan," teriakku saat Strider hendak menyatukan tulang belulang itu pada kain kafan lainnya. Aku mengacungkan jari itu tinggi-tinggi. Mata Strider membelalak. Beberapa teman Bang Leon turut terperanjat dan menggeleng tak percaya.
.
.
.
Bang Leon mengambil potongan jari dari tanganku dan mengangsurkannya ke Strider yang menerimanyq dengan kening berkerut. Tanpa pikir panjang, jari itu langsung dicampur dengan tulang belulang lain di atas kain kafan.
.
.
.
"Bapak-bapak, silakan istirahat dulu aja. Udah sore. Atau kalo mau pulang duluan juga nggak papa. Tapi besok datang lagi ya. Kami masih membutuhkan tenaga kalian," kataku sambil menatap teman-teman Bang Leon satu-satu.
.
.
.
Mereka segera bubar setelah menghabiskan stok minuman dan cemilan di meja. Hanya Bang Leon yang masihstand by untuk keperluan pengurusan jenazah Ephraline. Saat ini beliau sedang duduk lesehan beralas tikar bambu, leyeh-leyeh sejenak sambil minum kopi dan menikmati cemilan.
.
.
.
"Jadi mau dimakamin hari ini juga, Bro?" tanya Bang Leon sambil menghisap rokoknya yang tinggal setengah. Pandangan matanya sesekali mengarah ke tivi yang saat ini sedang menayangkan infotainment.
.
.
.
"Kayaknya sih besok pagi aja, Bang. Nggak keburu kalo sekarang. Udah sore." Strider duduk selonjor di samping Bang Leon. Punggungnya bersandar ke tembok. Diseruputnya capucino yang masih mengepul asap sedikit demi sedikit.
.
.
.
"Kenapa nggak sekarang aja?" timpalku, ikut-ikutan duduk lesehan di samping Strider dan menyandarkan kepalaku di bahunya. "Kan biar cepet kelar dan besok fokus beresin lagi."
.
.
.
"Nggak bakal keburu, Sayang!" tekannya.
.
.
.
Pelan, Strider menyingkirkan kepalaku. Aku cemberut sambil menatap tak suka. Strider melotot disertai gumaman tak jelas.
.
.
.
"Ya udah kalo gitu gue balik dulu ya! Besok pagi gampang ke sini lagi," pamit Bang Leon setelah menghabiskan kopinya.
.
.
.
"Cepet aja, Bang. Masih sore," ledek Strider, setengah terkekeh.
.
.
.
Bang Leon terkikik. "Nggak enak ninggalin bini sendirian, Bro!"
.
.
.
"Ya elah lagak lo, Bang. Kayak pengantin baru aja. Udah lama nikah padahal."
.
.
.
Celetukan Strider menimbulkan tawa membahana di ruang keluarga. Aku pun ikut tertawa.
.
.
.
"Biar kata udah lama, tapi harus tetap seperti pengantin baru, Bro. Biar awet dan langgeng."
.
.
.
Strider mendengus. "Iya deh. Nurut aja gue mah."
.
.
.
Bang Leon semakin terbahak. Lantas berdiri. Diikuti Strider yang kemudian mengantar Bang Leon sampai pintu depan.
.
.
.
Sepeninggal Bang Leon, Strider memindahkan tulang belulang Ephraline yang sudah dibungkus rapat ke sebuah tempat tertutup agar tidak meninggalkan bau. Di kamar mandi terdengar senandung Vivian ditingkahi suara air. Rupanya gadis itu sedang mandi sambil bernyanyi. Sebuah kebiasaan yang baru kali ini kutahu.
.
.
.
Malam harinya, aku dan Vivian memasak bareng sambil sesekali mengobrol. Sementara Dante dan Strider berleyeh-leyeh di sofa seraya menikmati layar tivi yang sedang menayangkan film Lord Of The Ring.
.
.
.
Semua berjalan baik-baik saja. Hingga salah satu dari kami mencium gelagat aneh pada sesuatu.
.
.
.
"Lo ada nyium bau aneh nggak?" Dante mengendus-endus, mencari sumber bau.
.
.
.
Aku ikut mengendus, persis anjing yang mencari tulang dengan hidungnya. Lantas menggeleng karena tak mencium bau apa pun selain harum masakan yang barusan matang.
.
.
.
"Bau apaan?" tanya Vivian seraya menyendok nasi, bersiap makan. "Gue nggak nyium bau yang aneh-aneh. Paling bau amis cumi nih yang barusan dibikin tadi."
.
.
.
Dante mengibas tangan. "Ish... bukan itu. Gue nyium bau bangkai nih. Bercampur melati dan anyir darah. Sumpah, jadi enek banget," jawab Dante seraya menjepit hidung dengan telunjuk dan jempol.
.
.
.
Vivian mengurungkan niat untuk makan. Aku dan Strider saling berpandangan. Tatapan saling bertanya, lantas menggeleng bersamaan.
.
.
.
"Coba periksa, Strider! Barangkali ada yang aneh," kataku akhirnya.
.
.
.
Strider mengedarkan pandang. Hidungnya ikut mengendus. Saat berbalik badan, mendadak wajahnya pucat. Aku menatapnya heran.
.
.
.
"Kenapa?"
.
.
.
Lama ia terdiam. Sebelum akhirnya mengucap dengan bibir sedikit gemetar, "Ephraline."
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
***tbc

Posting: thu, 23 jun 2016 ; 02.20 wib










Tadinya cerita ini mau ditamatin, biar setelah lebaran Idul Fitri fokus bikin The Hidden Truth dan Selepas Kau Pergi, yang udah terbengkalai lama.
Tapi apa daya tugas negara yang wajib dikelarkan sehingga semua naskah jadi mandek, bahkan cerita ini yang aslinya udah tamat pun ikutan telat posting di sininya.
Maapkeun iyeuh...
Bentar lagi lebaran... ;)
Oh iya, kritik dan sarannya sangat ditunggu.
Terima kasih sudah membaca! ;)

Penghuni LainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang