4. Rumah Baru Keira

901 67 26
                                    

Strider's pov

Setahun yang lalu.

"Strider, datanglah ke rumah baruku. Kamu belum tau, kan?" suara Keira dari seberang sana langsung terdengar ceria setelah aku mengatakan "hallo" padanya.

Aku mengernyit kening sejenak.

"Kau jadi pindah hari ini?" tanyaku setengah ragu.

"Tentu saja!" jawab Keira antusias. "Aku baru aja sampai di rumah baru. Para tukang lagi sibuk membereskan perabotan kami dan menempatkannya sesuai keinginan kami. Kamu ke sini ya! Sekalian ikut membantu lah!" di akhir kalimat, Keira tertawa cekikikan.

Aku melotot. Kalau saja Keira sedang ada di dekatku, dengan senang hati kuhadiahkan sebuah jitakan di kepalanya. Enak saja meminta jadi tukang, walaupun pada pacarnya sendiri.

Terdengar helaan nafas dari sana setelah tak ada sahutan dariku.

"Aku cuma bercanda, Strider! Jangan dimasukkan ke hati ya!" katanya merasa tak enak.

"Serius juga ga papa kok!" celetukku yang membuatnya kembali tertawa.

'"Ya ampun, gitu aja ngambek!" serunya. "Tapi aku serius ingin kamu ke sini dan melihat rumah baru kami, Strider! Main ya! Walaupun sekarang jadi lebih jauh dari yang dulu dan... ga ada lagi deh istilah pacar lima langkah di antara kita."

Aku tertawa mendengarnya. 'Pacar lima langkah? Ada-ada saja si Keira!' gumam hatiku.

Sebelum keluarga Keira memutuskan pindah dan menjual rumahnya yang lama, awalnya mereka adalah tetanggaku. Rumah kami hanya terpisah oleh tanah lapang yang digunakan sebagai lapangan serba guna bagi warga komplek kami. Tentu saja orang tua kami saling mengenal dan mengetahui bahwa kami berpacaran. Keluarga kami yang lain, para tetangga, bahkan teman-teman sepermainan kami pun sudah mengetahuinya. Sehingga tak jarang mereka kerap melontarkan ledekan ketika kami bertemu.

Mengingat hal itu, tanpa sadar aku tersenyum sendiri.

"Strider, kamu masih di situ, kan?" seru Keira di seberang sana.

"Iya, Sayang!" jawabku cepat. "Besok aja ya aku ke rumah. Sekalian abis itu kita jalan. Kamu mau, kan?"

"Lho, ga bisa sekarang?" Keira protes.

"Ini udah sore, Kei. Lagipula aku masih di Jakarta nih. Baru selesai acara seminarnya." jelasku.

Keira tertawa. "Ya ampun. Iya deh, Kakak Senior!" ledeknya kemudian, membuatku benar-benar ingin menjitaknya.

"Ckck... Kalo dekat, kamu udah kujitak ampe puas, Kei!" geramku.

Keira makin tertawa berderai. "Segitunya kamu ih. Jangan dijitak, dicium aja!"

Aku terdiam mendengarnya yang mulai mesum itu. Dalam hati selalu beristighfar karenanya. Ampuni kami ya Tuhan, bisik hati kecilku.

"Baiklah, aku tunggu besok ya! Awas aja kalo ampe ga datang! Salam buat orang tuamu dan Vivian ya!" putus Keira mengakhiri.

"Iya, Sayang!"

***

"Assalamu alaikum!" sapaku setengah teriak di depan pintu rumah Keira yang terbuka.

"Wa alaikum salam!" sahut suara dari dalam.

Aku memperhatikan rumah baru Keira yang saat ini lebih besar dari sebelumnya. Lumayan bagus. Dengan rancangan minimalis, hampir sama dengan tetangga kanan kirinya. Hanya saja, sudah direnovasi menjadi bertingkat dua, dan itu dilakukan oleh penghuni sebelumnya.

Penghuni LainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang