23. Mendadak Indigo (Fin)

656 29 6
                                    

Pukul 04.30.

Adzan subuh berkumandang ketika aku menggeliat bagai cacing kepanasan di tempat tidur padahal hawa dingin melanda akibat hujan. Entah mengapa udara di sekitar terasa panas sekali sehingga peluh membasahi gaun tidur tipis yang kukenakan. Saking merasa gerah, aku baru membuka mata tepat saat adzan usai.

Sekitarku sangat gelap. Sesuatu bergerak-gerak di sebelah dan kemudian menimpa pinggangku. Aku terkesiap, membalikkan badan. Sesosok asing terlelap di sana.

Asing? Aku mengingat-ingat. Menepuk kening.

Bodoh! Suami sendiri sampai tidak kenal. Aku baru ingat sekarang. Ada Strider yang sedang meringkuk seperti monster lobster dengan satu tangan di pinggangku.

Aku tersenyum melihat wajah tidurnya yang sangat damai dengan tarikan nafas teratur, ibarat melodi indah yang selalu kudengar tiap hari.

Setahun telah berlalu setelah pemakaman Ephraline. Dalam setahun itu, aku tak lagi didera ketakutan. Hidup pun kembali normal.

Beberapa bulan setelah Ephraline memberikan hadiah berupa cincin nikahnya, Strider melamarku yang disaksikan oleh keluarga besarnya. Aku mengangguk, mengiyakan. Vivian sampai menangis haru dan memelukku karena kami akhirnya menjadi ipar.

Pernikahan terjadi sebulan kemudian. Pesta dilaksanakan tak begitu mewah namun tetap elegan dan dilaksanakan di gedung serbaguna. Awalnya, pihak keluargaku ingin pesta berhari-hari, tak mau kalah dengan sang sepupu. Tetapi Strider menolak. Dia ingin sisa biaya untuk honeymoon ke Eropa. Aku setuju saja. Kapan lagi bisa jalan-jalan gratis sambil bulan madu?

Kini, pernikahan kami sudah berjalan enam bulan. Begitu indah. Ibarat kata, kami sedang dalam masa hangat-hangatnya. Sangat manis. Tiap hari maunya berdua. Lengket. Seperti sudah dilem alteco. Padahal kami sudah kenal lama. Hidup bertetangga walau pada akhirnya berpacaran selama tiga tahun sebelum memutuskan menikah.

Aku menelusuri pipi Strider yang sedikit kasar. Tersenyum tipis. Tak apa. Toh, ia terlihat lebih seksi dan jantan dengan janggut tipis. Tebal pun masih terlihat kiyut. Seperti pria-pria di Arab sana. Atau seperti Teuku Wisnu? Yah sebelas dua belaslah.

Strider membuka mata perlahan akibat sentuhanku di pipinya. Ia tersenyum saat tatapannya bersirobok denganku. Aku menarik tangan, telat. Karena Strider telah lebih dahulu menangkap tanganku dan meletakkannya di pipinya. Seketika, rasa panas menyergap wajah. Malu. Untung kamar masih gelap.

"Pagi, Sayang!" sapanya manis.

Hawa panas semakin menjalar ke seluruh tubuh. Membuatku tak bisa membalas sapaannya.

"Udah subuh. Sholat yuk!"

"Hmm... Morning kiss first, please!"

Aku mendelik. Tapi kukabulkan keinginannya daripada dicap durhaka oleh para malaikat. Kukecup kening, pipi, dan bibir tipisnya. Ia tersenyum senang. Bahkan sempat mengulum bibirku sebelum akhirnya beranjak ke kamar mandi.

Kami mandi di tempat terpisah. Bukan tak ingin mandi bareng, tapi Strider selalu melakukan ritual khusus saat mandi sehingga akan memakan waktu lama. Dan itu sangat tidak cocok diterapkan saat ini karena waktu subuh yang sekejap. Setelah mandi, kami sholat subuh berjamaah.

Aku merasakan perut bergejolak setelah melipat mukena. Segera saja aku berlari ke toilet dan memuntahkan semua. Hanya bening yang ada. Namun perut terasa melilit sekali. Apa mungkin aku terserang maag?

"Kenapa, Yang?"

Suara Strider penuh khawatir. Ia memijat lembut tengkukku. Aku menggeleng, kembali muntah. Sia-sia. Hanya berupa cairan bening saja yang keluar. Kubasuh wajah seraya menahan perut yang masih sedikit bergejolak.

Penghuni LainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang