7. UUD (Ujung-Ujungnya Diketawain)

700 32 3
                                    

Keira pov

"Apa, Kei? Huahahaha..."

Tuh kan. Begitulah reaksi saat aku bercerita tentang 'penghuni lain' di rumah kepada keluargaku waktu lagi kumpul bareng sambil nonton The Omen eh... mereka dengan kompak menertawakanku. Terlebih Dante yang paling kencang pake banget suara tawanya. Ayah juga ikut tertawa walau tidak sedramatis Dante. Sementara Ibu hanya senyum-senyum di samping Ayah. Menyebalkan sekali. Aku manyun sambil melihat aksi Damian yang tengah menghipnotis penduduk Washington agar memujanya.

"Emang kamu lihat hantu dimana, Kei?" tanya Ayah, sesekali melirikku.

"Di dekat tangga. Di perpustakaan. Bahkan pernah juga dia nongol subuh-subuh. Disertai bau anyir darah dan bunga melati," jelasku sambil nyomot keripik kentang milik Dante yang segera menggebuk telapak tanganku dengan sadis.

"Ga usah pake diem-diem ngembat juga kali!" serunya galak.

Aku nyengir tanpa dosa. Keripik kentangnya berhasil kuambil walau hanya segenggaman tangan.

"Pelit amat lu sama kakak sendiri," kataku dengan mata yang sudah menatap layar tivi dan mulut mengunyah keripik kentang hasil colongan.

"Tapi kami kok ga lihat apa-apa ya, Yah?" Ibu melirik pada Ayah yang kemudian mengangguk membenarkan. "Ga ada yang aneh-aneh dengan rumah ini. Mungkin itu cuma perasaanmu aja kali, Kei. Mungkin karena kamu suka nonton film horor ato baca novel horor makanya bisa gitu."

Aku mendesah kesal. Konsentrasiku pada film The Omen sudah buyar setelah sekeluarga kompak menertawakanku. Bagi mereka, aku ini konyol dan kurang kerjaan. Atau hanya berhalusinasi. Karena selama ini dalam keluargaku, belum pernah ada kejadian mistis apapun, sehingga mereka tentu saja tidak percaya akan ceritaku.

"Ya sudahlah kalo pada ga percaya." aku menyerah. Kuhabiskan keripik kentang di genggaman tangan lalu menyeruput es sirop hingga tandas. Setelah itu bangkit meninggalkan mereka menuju kamar.

"Dih... ngambek nih ye!" ledek Dante. Muka jailnya serasa ingin kutimpuk. Tapi kuurungkan karena tidak mau cari masalah dengan si biang rese dalam keluargaku itu.

"Au ah gelap!" kataku cuek. Sengaja membanting pintu kamar keras-keras, yang berakhir dengan omelan Ayah.

"Kalo nutup pintu yang bener, Neng!" kata Ayah dengan nada tinggi.

Suara tawa Dante yang membahana kembali terdengar. Mengesalkan sekali.

***

"Duh yang abis kuis mukanya kusut amat kayak baju belom disetrika, Neng!" ledek Shino, salah satu sobat dekat Strider, saat aku dan Vivian menghampiri mereka usai kuis Statistika.

Viviab hanya tertawa seraya duduk di samping Shino, sementara aku masih tetap cemberut. Lantas aku mengambil tempat di samping Strider yang langsung tersenyum begitu melihatku.

"Et dah, diem lu, Kak!" ketusku.

"Hueee... cewe lo galak banget, Strider! Abis kesambet setan apa tuh? Setan dosen Statistika yang terkenal killer ntu ya? Huahaha..." Shino tertawa garing. Sementara Strider hanya tersenyum di sampingku.

"Jangan didengerin, Say! Shino emang orangnya begitu," kata Strider lembut. Tangannya mengelus kepalaku sekilas.

"Au ah! Temen lo nyebelin, Kak!" aduku dengan memanyunkan bibir. Aku melirik ke arah Shino, masih merasa kesal. Shino sudah tidak tertawa. Dia malah lagi asik ngobrol seru dengan Vivian. Entah sedang membahas apa, aku tak menyimak.

"Gimana tadi kuisnya? Soalnya sulit ya?" tanya Strider lembut.

"Yaaa gitu deh. Tau sendiri kan Ibu Daphne kayak apa," jawabku malas.

Penghuni LainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang