19. Berasa Uji Nyali

465 26 3
                                    

Aku membelalak. Nafas pun tercekat. Kedua lutut seakan tak kuat menyangga massa tubuh. Kugeser kursi makan dan duduk di sana. Tertunduk sambil meredakan perasaan yang sudah diterpa takut. Merinding bulu roma.

"Maksudnya ada penampakan, Kak?"

Itu suara Vivian. Gadis itu tengah menatap sang kakak yang terlihat pucat. Walau Strider punya indera keenam, tetapi rasa takut karena melihat hantu atau penampakan lainnya masih selalu ada.

"Hmm... ya gitu deh. Hanya selintas. Rada mengganggu. Tapi ya udahlah, jangan terlalu dipikirkan. Mending pada makan ajalah. Dante, lo masih nyium bau-bau aneh nggak?" tatapan Strider mengarah ke Dante.

"Masih, Kak," jawabnya setengah mengendus.

"Yang lain gimana? Ngerasa nyium sesuatu yang aneh?" Strider menatap kami satu-satu. Aku menggeleng ketika tatapan kami bertemu.

"Yang nggak ngerasa aneh mending pada makan duluan aja. Gue mau periksa sekitar dulu. Barangkali ada sesuatu yang aneh."

Strider segera berlalu. Aku memandang Vivian yang mulai menyendok nasi dan lauk pauk di hadapannya. Lantas duduk di sampingku, menikmati makanannya. Ia melirik piringku yang masih kosong.

"Lo nggak makan, Kei?" lalu gadis itu menoleh ke Dante. "Nih juga Dante, masih bau ya?"

Dante mengangguk. Wajahnya masih pucat akibat bau yang mungkin menyengat di hidungnya. Sementara aku menggeleng pelan.

"Ntar deh, Vi. Gue bareng yang lain aja."

"Atuh makan aja, Kei. Nanti mah lo bisa kena migrain lho."

Aku mengangguk. "Iya, ntar deh. Bareng Strider."

Dante mendengus. Aku tahu maksudnya apa. Dia meledekku.




***

Strider
-------------

Aku terperanjat kaget. Jantung hampir saja melompat dari tempatnya. Bagaimana tidak? Saat mata berkeliling memeriksa keadaan sekitar, aku dikejutkan dengan buntelan kain kafan yang berisi tulang-belulang Ephraline itu sudah dalam keadaan terbuka. Keningku berkerut bingung. Siapa pelakunya? Terlebih lagi, buntelan itu terletak di atas meja kayu, seperti ada yang memindahkan. Bukankah tadi sudah di samping meja? Apa ada seseorang yang memindahkannya? Lalu untuk apa ia membongkar mayat itu?

Aku kembali ke ruang makan, memandang orang-orang di sekitar yang tengah menikmati santap malam yang seadanya. Keira dan Dante akhirnya mau makan setelah Vivian melakukan sedikit pemaksaan.

"Kalian ada yang mindah-mindahin mayat Ephraline?" tanyaku pelan.

Seketika ruangan sunyi. Tak ada lagi bunyi piring beradu dengan sendok dan garpu. Tak ada lagi percakapan ringan di tengah makan. Bahkan Keira sudah meletakkan sendok dan garpunya di pinggir piring walau makanannya masih banyak.

Mereka saling memandang satu sama lain. Suasana terlihat mencekam. Tak ada satu pun dari mereka yang mengangguk. Aku menghela nafas, menenangkan diri. Berharap tidak ada sesuatu menyeramkan yang mungkin akan terjadi. Meski tadi sempat kulihat sekelebat bayangan Ephraline di sekitar tangga.

"Emang kenapa, Kak?" tanya Dante, mengusik ketenangan.

"Kayak ada yang mindahin terus bungkusannya kebuka."

"Serius, Kak?" kali ini Vivian yang bicara. Aku mengangguk. "Padahal tadi udah dibungkus rapat dan ditaruh di samping meja. Biar besok pagi tinggal dikubur. Sumpah abis itu nggak diutak-atik lagi."

Aku menghembus nafas kasar. Membalikkan tubuh. Kembali ke tempat tadi untuk melanjutkan pekerjaan yang tertunda; membungkus mayat Ephraline dan meletakkannya di tempat semula.

Penghuni LainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang