22. Pamit

418 21 3
                                    

Aku merebahkan kepala di lengan Strider saat tengah menyaksikan sebuah film di ruang keluarga. Hanya ada kami berdua di rumah ini karena orangtuaku masih berada di Solo dan kemungkinan baru pulang seminggu lagi. Mereka masih ingin menikmati bulan madu entah yang ke berapa. Aku mencibir di telepon saat ibu mengatakan sedang berada di taman wisata. Ibu malah berbalik mengataiku iri karena tak bisa seperti mereka. Aku hanya cemberut yang tentu saja ibu tidak tahu karena terpisah jarak.

Kami mengakhiri telepon setelah ibu mengabulkan rajukanku yang meminta oleh-oleh padanya. Huh, aku memang bisa saja kembali seperti anak kecil yang manja saat bersama ibu.

Strider mendorong pelan kepalaku. Aku menggeliat enggan. Kembali melendot manja bahkan menyurukkan kepala di dada.

"Isshh... kenapa sih lo, Kei? Tumben manja amat!"

Sekali lagi Strider menjauhkan kepalaku. Mungkin ia merasa seperti tertindih beban berat di lengannya.

"Hmm... gue bersyukur banget Ephraline udah nggak ganggu lagi. Masih segar dalam ingatan saat kejadian di perpustakaan dulu yang bikin gue pingsan ampe pagi. Serem banget kalo dibayangin."

Aku meletakkan kepala di sandaran sofa seperti orang malas. Apalagi kedua kaki terjulur dan kedua tangan terlipat di atas perut. Tinggal menunggu kantuk datang maka aku akan terbang ke alam mimpi.

"Ya lo-nya jangan mikirin mulu lah. Semakin dipikirin malah semakin parno. Gue juga gitu kok. Padahal gue lebih sering liat makhluk yang begituan. Dari yang paling cakep sampe yang super duper menyeramkan," kata Strider dengan tatapan serius ke layar tivi, seolah takut terlewat adegan yang saat ini sedang menegangkan.

Aku menoleh. Meresapi perkataannya. Membenarkan dalam hati. Strider adalah termasuk yang diberi 'kelebihan'. Walau ia sama sekali tak menginginkannya tetapi ia tak dapat menolak dan mengelak. Aku membayangkan sebagai dirinya yang harus menahan segala rasa ketika menghadapi makhluk astral yang sering muncul tiba-tiba.

Pasti ia sering olahraga jantung.

"Emang ada yang cakep juga ya? Setau gue, mereka serem-serem."

"Mereka itu sama kayak kita kok, Kei. Iya banyak yang serem seperti di film horor yang sering lo tonton, tapi banyak juga yang kayak artis-artis gitu. Mungkin yang cakep ntu artis dari bangsa jin, kali." Strider terbahak. "Intinya, mereka juga hidup berkelompok, berbagai jenis, punya profesi, bahkan berketurunan."

Aku menatap kagum tentang pengalaman dan pengetahuannya.

"Wueh, kayak paham banget lo, Strider!"

Tawaku pecah melihat Strider yang salah tingkah. Ia menggaruk kepalanya dengan pandangan kembali lurus ke tivi.

"Bukan gitu. Gue cuma sharing aja. Selama ini banyak yang bilang mereka makhluk yang menyeramkan seperti dalam film-film. Padahal mah nggak juga. Ada yang beriman. Ada juga yang kafir. Pernah waktu kapan tuh gue liat ada wewe gombel lagi sholat di masjid yang nggak jauh dari kampus kita. Terus pernah juga waktu gue lagi sholat tahajud, kayak ada yang mengikuti di belakang gue. Istilahnya, jadi makmum lah. Padahal aslinya lagi sholat sendirian. Jadi sebaiknya nggak usah takut sama yang begituan. Kalo ada yang mendadak nongol mah baca surat-surat yang lo hafal aja. Insya Allah mereka nggak ganggu lagi kok," jelasnya panjang lebar.

"Siap, Pak Ustadz!"

Strider mendengus ketika aku bertingkah layaknya hormat bendera. Telapak tangan kanan terletak di kening dan berdiri tegap. Lantas menyembur tawa saat Strider hanya geleng-geleng dengan telunjuk yang dimiringkan di dahinya. Menganggapku gila. Aku kembali menghempaskan pantat di sofa.

"Jahat banget ngatain ceweknya gila," rajukku cemberut.

Ia terkekeh. Menegakkan kedua jari telunjuk dan tengahnya.

Penghuni LainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang