BAGIAN XVIII

46 2 0
                                    

Sore menjelang, matahari mulai memancarkan rona keemasan. Bianglalapun berubah jingga, dan awan-awan mulai beranjak hilir. Sementara jalanan kota metropolitan masih saja sama. Macet dimana-mana, bising, polusi, seolah tak pernah hilang dari kota ini.

Sementara di tempat kerjanya, Dante sudah bersiap-siap untuk pulang. Ia tengah merapikan peralatan dan membersihkan diri sejenak, sementara para pekerja yang lain sudah lebih dulu pulang setelah menerima upah.

"Dante, ini upahmu hari ini," ujar sang mandor memberikan uang senilai delapan puluh lima ribu rupiah padanya. Dante menerimanya dengan tangan gemetar. Alhamdulillah, bisik hatinya. Ini adalah uang halal pertama yang ia terima! Walaupun nilainya tak seberapa, akan tetapi terasa berkah dan nikmat sekali. Berbeda jika selama ini ia mendapatkan uang besar dengan cara yang salah. Terasa tidak berkah dan gampang habis. Dante kini sadar, semua hal yang diraih dengan cara instan itu tidak akan baik, meskipun jumlahnya banyak. Namun jika melewati proses seperti ini, akan terasa lebih indah meski nilainya tak seberapa. Ya Allah, terima kasih atas rejeki yang Engkau berikan padaku hari ini, bisik Dante dalam hati.

"Terima kasih, Pak," bisiknya menerima uang itu. Sang mandor menepuk pundaknya beberapa kali sebagai bentuk rasa persahabatan.

"Sama-sama. Semangat ya kerjanya," ujarnya pula. Sejenak kemudian lelaki itu menghampiri pekerja lain dan memberikan upahnya pula. Dante termangu sesaat, rasanya uang yang ia dapat hari ini terasa begitu manis. Upah dari jerih payahnya, tetesan peluhnya, dan hasil kerja kerasnya selama sehari. Butuh proses untuk mendapatkannya, makanya terasa begitu manis. Dante tersenyum haru menatap uang yang masih di genggamannya itu. Tak terasa matanya mulai basah, ia terharu.

"Dante..." seruan Ario akhirnya membawa Dante kembali pada kenyataan. Pemuda itu sedikit terjingkat dan menoleh.

"Ayo balik," ajak Ario. Dante mengangguk dan menghampiri lelaki itu dengan senyum yang mengembang di bibirnya.

"Bang, ini," bisiknya memberikan selembar uang sepuluh ribuan kepada Ario. Lelaki itu sempat mengernyitkan dahi melihatnya.

"Apa ini?" tanyanya.

"Utangku, makan siang tadi,"

"Ah, sudahlah. Kau simpan saja uangmu. Bukankah sudah kukatakan, kau tak perlu ganti. Aku ikhlas," jawab Ario pula. Dante terdiam sejenak, ternyata Ario memang betul-betul baik, pikirnya. Ia bersyukur sekali dipertemukan dengan lelaki itu.

"Kalau begitu, anggap saja ini uang dariku untuk si kecil Bang," tukas Dante pula. Ario tersenyum simpatik, dan menepuk pundak pemuda itu.

"Kau simpan saja Dan. Kau butuh uang untuk masa depanmu dengan pasanganmu. Bukankah kau ingin segera menikahinya?" ujar Ario pula. Dante menghela napas, ya, memang benar bahwa ia ingin segera menikahi Yasmin. Akan tetapi ia merasa tak enak dengan Ario.

"Tapi..."

"Sudahlah," potong Ario menolak uluran tangan Dante. Ia merangkul bahu pemuda itu dan mengajaknya berjalan keluar dari lokasi bangunan.

"Saya tak enak Bang," ungkap Dante lagi sambil berjalan.

"Ah, jangan begitu. Biasa itu namanya teman. Nanti kalau aku tak punya uang, barulah kau boleh mentraktirku pula," sergah Ario. "Ingat Dan, uang bisa dicari Dan, tapi persahabatan, susah didapat apalagi di Jakarta yang kejam ini," sambungnya lagi. Dante manggut-manggut, ia membenarkan kata-kata lelaki itu. Apa yang diucapkan Ario memang benar adanya. Susah menemukan sahabat sejati di Jakarta ini. Itu memang benar!

"Ya sudah, kalau begitu. Kita berpisah disini, aku mau menunggu metro mini. Kau naik apa?" tanya Ario lagi menghentikan langkah di tepian jalan.

Kunang-kunang Di Langit IbukotaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang