BAGIAN XXXI

32 2 0
                                    

Bianglala berubah rona, dari biru cerah menjadi kuning keemasan. Pertanda hari telah beranjak petang. Si raja siang mulai turun ke peraduannya. Dan sebentar lagi malam akan menjelang.

Dante bersiap-siap untuk pulang. Ia membersihkan seluruh pakaian dan tubuhnya sejenak sebelum melangkah meninggalkan lokasi kerja. Ia sudah mengantongi uang yang tadi diberikan sang mandor padanya. Kini, setelah membersihkan diri, dan meletakkan semua perkakas ke tempatnya, Dante berniat ingin meninggalkan lokasi.

Langkah kakinya lesu, semangatnya terasa hilang. Bagaimana tidak, perasaannya masih tak menentu. Hubungannya bersama Yasmin masih mengganggu pikirannya. Itu yang membuat semangat kerjanya hilang. Hingga sebuah sentuhan pelan di pundaknya mengagetkan Dante. Ia menoleh dan melihat Ario berjalan di sampingnya. Pria itu tersenyum dan menyamai langkahnya.

"Bagaimana?" tanyanya.

"Apanya?" Dante balik bertanya.

"Kulihat tadi dia menemuimu. Lalu bagaimana?" tanya Ario lagi. Dante menghela napas sejenak, kemudian mengalihkan pandangan ke arah jalanan.

"Entahlah Bang. Entah kenapa, semua apa yang ia sampaikan terasa begitu dibuat-buat," jawab Dante. Ario mengerutkan kening, tak mengerti.

"Dibuat-buat?" ulangnya.

"Ya," jawab Dante.

"Maksudnya?" Ario masih tak mengerti. Dante terdiam, iapun bingung bagaimana cara menjelaskan kepada Ario mengenai hal ini. Bagaimana ia harus menjelaskan kata-kata Yasmin tentang ia yang disewa Fabian untuk berpura-pura menjadi kekasihnya? Ario tak tahu apa-apa. Perlahan, ia hanya mendengus dan menggelengkan kepalanya.

"Baiklah. Kalau kau tak bisa bicara padaku," tukas Ario lagi. "Tapi pesanku hanya satu. Tanyakan pada hatimu. Bicara pada Tuhan, Dia yang Maha Tahu segalanya. Dan soal jodoh, Dia jugalah yang mengaturnya," lanjutnya. Tiba-tiba Dante terhenti. Ia menatap Ario dalam-dalam. Sungguh kata-kata Ario barusan merupakan sebuah nasihat yang sangat bijak. Ya, Dante harus melakukannya. Dante harus mengadu kepada Tuhan tentang keluh kesahnya.

"Ya Bang," jawabnya lirih. Ario menghela napas dan menepuk-nepuk pundak pemuda itu.

"Dan jangan jadikan masalah ini sebagai beban. Jangan pula membuat semangat kerjamu hilang. Ingat, kau bekerja untuk masa depanmu dan calon istrimu. Meski itu bukan dia, tapi kau harus tetap berusaha. Paham?" ungkap Ario lagi.

"Ya Bang," Dante mengangguk.

"Jangan terlalu dipikir. Masalah kalau terlalu dipikir bisa makin rumit. Santai saja. Ingat, setiap orang bermasalah. Dan jangan pikir masalahmulah yang paling besar. Karena kau tak tahu seberapa besar masalah orang lain, yang mungkin tidak terlalu mereka pikirkan," tukas Ario lagi, bijaksana. Dante kini mulai kembali berjalan, diikuti Ario yang senantiasa mengiringinya.

"Akupun punya masalah, cuma aku tak mau terlalu memikirkannya. Jalani saja. Berusaha dan berserah diri saja pada Tuhan. Itu kuncinya," ungkap Ario lagi sambil terus berjalan. Dante menoleh padanya sambil mengernyitkan dahi.

"Memangnya apa masalah Abang?"

"Mungkin masalahku lebih berat daripada masalahmu," jawab lelaki itu lagi setelah menghela napas sejenak. Dante makin mengerutkan kening. Ia tak mengerti.

"Ceritakanlah Bang," pinta Dante. Ario nampak menghela napas getir beberapa kali sebelum memutuskan untuk bercerita.

"Anakku punya kelainan jantung. Penyakit bawaan sejak ia lahir ke dunia. Penyakit itu terdeteksi sejak ia berusia tiga bulan," ungkap Ario pilu. Sorot matanya juga mengandung kepiluan, namun ia nampak berusaha tegar. Ia berusaha sekuat tenaga agar tak sampai meneteskan air mata. Namun meski begitu, Dante bisa merasakan kepedihan yang ia rasakan. Pemuda itu terlihat meringis pedih, membayangkan betapa berat masalah yang mendera Ario.

Kunang-kunang Di Langit IbukotaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang