BAGIAN XXVII

30 3 0
                                    

Deru hujan yang semakin mengguyur bumi, tak membuat Dante menghentikan langkahnya. Ia terus berjalan menelusuri gang demi gang hingga akhirnya keluar di jalan besar. Ia berharap air hujan yang turun membasahi tubuhnya dapat membasuh luka hatinya. Ia terus melangkah dan tatapan matanya tajam terarah ke depan.

Oh, hatinya kini benar-benar sakit. Rasanya ia hancur sekarang. Tak ada gunanya lagi ia hidup. Ya, percuma rasanya ia hidup jika harus menanggung sakit seperti ini. Ia belum pernah merasakan sakit seperih ini. Hingga ia mengenal Yasmin. Perempuan itu ternyata mampu melukainya sampai separah ini. Oh, pedihnya. Apakah ia dihadirkan Tuhan hanya untuk menyakiti Dante?

Bila berbicara soal Tuhan, rasanya kini Dante seolah tak percaya lagi pada-Nya. Kata orang Tuhan itu adil. Tapi mana buktinya? Hidup Dante dari dulu sampai sekarang selalu dirundung malang. Apa salahnya? Sejak kecil ia tak pernah diberi kesempatan untuk bersua dengan orang tua kandungnya. Ia bahkan tak tahu siapa orang yang telah melahirkannya ke dunia. Itu saja rasanya sudah teramat sakit. Masa kecil yang seharusnya manis, penuh canda dan tawa, dilalui Dante dengan teramat getir. Meski ia mendapat kasih sayang dari orang tua asuhnya, tapi tentu tidak dapat menggantikan rasa rindu Dante pada sosok orang tua kandung yang sudah melahirkannya ke dunia.

Masa remajanya juga hilang begitu saja. Dirampas sejak ia mengenal dunia jalanan. Masa remaja yang seharusnya dilalui dengan warna-warni sekolahan, harus terenggut begitu saja. Dante malah dihadapkan pada satu kenyataan yang teramat pahit. Ia harus berjuang mati-matian mencari uang di jalanan ibukota yang terkenal kejam dan tak punya rasa kasihan. Hingga ia dewasa, belum ada satupun rasa manis yang sempat ia reguk. Semuanya pahit, bahkan ia sempat menyebut hidupnya sekelam langit yang tak berbintang.

Hingga akhirnya perempuan itu datang menyapa. Ia mampu menghadirkan cinta yang teramat manis yang membuat Dante sempat melayang. Ia angkat Dante setinggi langit, namun kini dalam sekejap ia jatuhkan lagi ke bumi. Terhempas begitu saja di tanah yang gersang. Oh, bisa dibayangkan betapa sakitnya itu. Apakah memang Yasmin hadir hanya untuk menyakitinya? Ataukah ia yang memang tak layak untuk bahagia? Tapi apa salahnya? Apa dosanya? Lantas dimana letak keadilan Tuhan itu? Dimana?

Dante kini seolah putus asa. Ia bahkan sudah mau berubah, memperbaiki diri ke arah yang lebih baik. Ia sudah tak melakukan tindak kejahatan lagi dan mencari uang dengan cara yang halal. Akan tetapi mengapa Tuhan seolah enggan memberinya kebahagiaan? Mengapa? Maka dari itu, sekarang ia putus asa. Tak ada gunanya lagi ia hidup kalau hanya untuk terus merasakan sakit dan sakit lagi. Lebih baik ia mati sekalian, agar semuanya selesai. Agar semua kesakitannya ini berakhir.

Dante kini berdiri disebuah pinggiran jalan. Ia celingukan hilir mudik memperhatikan jalanan. Malam ini walaupun hujan, namun jalanan ibukota masih saja ramai dilalui oleh berbagai macam kendaraan. Tanpa pikir panjang lagi Dante melangkah menyeberangi jalan, ia membiarkan kendaraan-kedaraan itu menabrak bahkan melindasnya sekalian agar ia mati saat ini juga. Beberapa kendaraan membunyikan klakson memberikan kode agar Dante menghindar. Namun ia enggan beranjak. Hingga para pengendara-pun dibuat kesal.

"Heh, mau mati kau?" hardik salah seorang pengendara mobil yang nyaris menabrak tubuh Dante.

"Iya. Aku mau mati, tabrak saja!" balas Dante setengah berteriak. Pengendara itu hanya geleng-geleng kepala dan menghindari Dante lalu melanjutkan perjalanannya. Begitupun beberapa pengendara lain yang kesal akibat ulah Dante. Hal itu menghalangi jalan sehingga kemacetan sempat terjadi. Berbagai macam bunyi klakson dan juga makian-makian kini menggema di jalanan. Itu semua karena Dante. Sampai akhirnya sebuah tangan menarik Dante kembali ke tepi, barulah jalanan kembali lancar seperti semula.

Setelah tiba di tepi jalan kembali, Dante menoleh pada orang yang menarik tangannya. Itu adalah Winda, sahabatnya, yang sempat ia benci, karena tidak mempercayai kata-kata Winda tentang Yasmin.

Kunang-kunang Di Langit IbukotaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang