BAGIAN LII

40 5 1
                                    

Kicauan burung di pagi hari membangunkan Dante dari tidurnya. Ketika ia membuka mata dan menatap jam kecil di samping ranjang yang sengaja di letakkan Husein disana, ia agak kaget. Jam menunjukkan pukul delapan kurang lima belas menit. Wah, kalau begini caranya ia bisa telat sampai di tempat kerja, pikirnya. Harusnya begitu selesai sholat subuh tadi ia tak usah tidur lagi.

Dengan cepat ia bangkit dari tidurnya dan bergegas masuk ke dalam kamar mandi. Ia bahkan hanya mencuci muka dan menggosok giginya saja supaya cepat. Ia tak mandi karena takut akan bertambah lama. Ia keluar dari kamar mandi, dan bergegas menemui Bu Ida yang ada di ruang belakang.

"Bu, aku langsung berangkat. Sudah telat," serunya.

"Tidak sarapan dulu Nak?" tanya perempuan itu.

"Tak perlu Bu. Ini sudah benar-benar telat. Aku berangkat ya Bu, assalamu'alaikum," serunya.

"Wa'alaikum salam. Hati-hati," balas Bu Ida. Dante langsung berlari keluar, bahkan tanpa sempat mencium punggung tangan sang ibu. Diluar, ia di kagetkan dengan kedatangan sebuah mobil mewah yang baru saja berhenti di depan pagar. Ia sudah kenal dengan mobil ini. Itu pasti Emma, pikirnya. Benar saja, tak lama, perempuan itu turun dari mobil dan melempar senyuman manis pada anaknya. Dante tak membalas senyuman itu, ia hanya mendengus dan membuang muka. Bagaimanapun ia masih kesal dengan perempuan itu karena kejadian tadi malam. Belum apa-apa, dia sudah mau mengatur dan merubah hidup Dante.

"Pagi, Nak," sapa Emma mencoba membangun keakraban dengan sang putra. Namun Dante malah melengah dan mencoba kembali melangkah. Namun Emma menahan lengannya.

"Dan, Mama antar ya," ujarnya.

"Tidak perlu," jawab Dante singkat. "Bukankah Mama malu punya anak kuli bangunan sepertiku," lanjutnya. Emma menghela napas kemudian tersenyum. Ya Tuhan, rupanya Dante masih tersinggung akibat perkataannya semalam, pikirnya.

"Dan, bukan maksud Mama seperti itu," bisiknya. Dante mendengus dan kembali berniat pergi, namun lagi-lagi Emma menahannya.

"Ijinkan Mama mengantarmu Nak," bisik perempuan itu lagi. Kali ini dengan suara yang lebih pilu dan air mata yang menggenang di pelupuk matanya. Dante akhirnya mengalah. Ia menarik napas dan berpikir. Ia sudah terlambat, toh kalau ia naik kendaraan umum akan lebih terlambat lagi. Tak ada salahnya juga bila ia menerima tawaran Emma, pikirnya. Sekaligus ia ingin menanyakan soal ayahnya kepada perempuan itu. Akhirnya, ia mengangguk perlahan. Hal itu membuat Emma sumbringah. Tangisnya mereda dan ia segera mengusap air matanya.

"Terima kasih Nak," bisiknya bergetar senang. Ia langsung membawa Dante memasuki mobilnya dan tak lama, mobil itu berlalu meninggalkan Panti Asuhan Kasih Bunda.

"Maafkan Mama soal semalam," bisik Emma dalam perjalanan. Dante melirik sekilas padanya dan tak memberi respon apa-apa.

"Jujur, sebetulnya Mama tak bermaksud demikian. Kau jangan tersinggung ya," tambah Emma lagi karena tak kunjung ada jawaban dari mulut sang anak.

"Lupakan," hanya kata itu yang terucap dari bibir Dante. Dan hal itu sudah cukup untuk membuat Emma senang. Meski ia tak tahu apakah itu tulus dari hati Dante atau tidak, yang jelas pemuda itu sudah memberikan respon. Itu saja sudah cukup bagi Emma. Ia tak mau di diamkan terus.

"Jujur, Mama tak dapat tidur tadi malam gara-gara kepikiran masalah ini," bisik Emma lagi.

"Sudahlah," balas Dante acuh tak acuh. Dan melihat respon dari sang anak yang sepertinya tak ingin membahas hal itu lagi, Emma jadi diam, ia ingin merubah suasana dan mencari topik pembicaraan lain.

"Aku... mau bertanya," kali ini giliran Dante yang memulai percakapan. Emma menoleh padanya sekilas dan kembali fokus pada jalanan.

"Ya," jawabnya. Dante diam sejenak, dan menarik napas. Seolah ingin mengumpulkan tenaga untuk memulai pertanyaan ini. Sudah sejak kemaren hal ini ingin ia tanyakan. Tapi selalu saja ada hal yang membuat pertanyaan itu tak terjawab atau bahkan tak tersampaikan. Tapi kali ini, Dante yakin ia akan mendapatkan jawaban. Tak ada lagi alasan bagi Emma untuk tak menjawab pertanyaannya ini.

Kunang-kunang Di Langit IbukotaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang