BAGIAN LIII

43 5 1
                                    

Sinar matahari siang ini tak terlalu menyengat, tapi cukup untuk membuat keringat bercucuran. Dante yang masih sibuk bekerja, menghapus lelehan keringat di dahinya sejenak. Kemudian mencoba kembali fokus pada pekerjaan. Meski sesungguhnya banyak sekali hal yang mengganggu pikirannya. Tentang ayahnya yang katanya tengah berada dalam penjara. Tentang hubungan orang tua kandungnya yang sepertinya tak baik. Tentang Riana yang terus saja berusaha mendekatinya. Dan tentang Yasmin. Ya, entah mengapa siang ini, ia kepikiran akan perempuan yang dicintainya itu. Sedang apakah Yasmin? Apakah ia juga memikirkan Dante seperti halnya Dante yang tengah memikirkannya?

Kapankah kunang-kunangnya itu akan kembali? Ia rindu, ia merindukan sinarnya. Ia rindu akan Yasmin. Semoga perempuan itu juga merindukannya, pikir Dante. Ah, susah kalau berhubungan tanpa komunikasi begini, pikir Dante. Sepertinya ia harus membeli ponsel yang baru. Dengan uang yang ia kumpulkan sepertinya ia sudah mampu membeli ponsel yang baru. Ah, sebaiknya ia beli lagi saja agar bisa berkomunikasi lagi dengan Yasmin.

Akhirnya, sebuah seruan yang menyerukan namanya membuat Dante sedikit terjingkat. Sebelum ia menoleh, ia yakin itu pasti Ario. Karena ia sudah hapal betul suara lelaki itu. Benar saja, begitu ia menoleh, Ario sudah berdiri di belakangnya dan menawarkan sebatang rokok. Dante menerimanya dan langsung menyulutnya.

"Istirahat dululah, sudah jam makan siang ini," ujar lelaki itu.

"Iya Bang," sahut Dante. Kedua lelaki itu akhirnya melangkah berbarengan turun dari ketinggian menuju bawah.

"Yang tadi siapa lagi, banyak betul nampaknya," kata Ario lagi sambil terus berjalan. Dante mengerutkan kening menatap lelaki itu.

"Siapa?" tanyanya.

"Yang mengantarkanmu tadi, pakai mobil mewah itu. Sepertinya perempuan cantik lain lagi," tukas Ario lagi. Dante mendengus sejenak. Oh, rupanya yang dimaksud Ario adalah Emma, pikirnya. Haruskah ia katakan kalau Emma adalah ibu kandung yang selama ini berpisah dengannya? Akankah lelaki itu percaya?

"Itu... mamaku Bang," akhirnya ia mengatakannya juga. Karena Dante memang bukan tipikal orang yang suka sembunyi-sembunyi. Ia akan mengatakan hal yang sebenarnya. Dan mendengar hal itu membuat Ario mengerutkan kening. Apakah ia tak salah dengar? Perempuan cantik dan kaya itu mamanya Dante? Jadi Dante anak orang kaya? Kalau iya lantas mengapa ia bekerja jadi kuli bangunan?

"Panjang ceritanya Bang," bisik Dante lagi sebelum Ario sempat bertanya. Seolah ia tahu apa yang ada di dalam benak sahabatnya itu. Ario memang tidak tahu kalau Dante selama ini tinggal di panti asuhan. Yang ia tahu pemuda itu tinggal di daerah Pancoran, itu saja. Karena memang hanya itu saja yang diberi tahu Dante.

"Begitu ya," komentar Ario dan tak mau bertanya lagi. Ia takut nanti disangka terlalu ikut campur urusan Dante.

Keduanya lalu melangkah keluar dari lokasi kerja berniat makan siang di warteg biasa sekaligus menunaikan ibadah sholat zuhur. Tapi lagi-lagi Dante terhenti karena melihat sosok gadis cantik yang berdiri menunggunya entah sejak kapan. Riana. Gadis itu rupanya belum jera juga, pikir Dante. Apa yang harus ia lakukan agar gadis itu hilang dari hidupnya?

"Hai Dan," sapa Riana. Dante mendengus dan membuang muka. Sementara Ario tahu diri, ia tak dibutuhkan disini. Maka dari itu ia harus undur diri. Ia menepuk pundak Dante dan bergegas meninggalkan kedua orang itu.

"Aku duluan ya," bisiknya dan bergegas pergi. Sepeninggal Ario, Dante kembali mendengus dan menatap sinis kepada gadis yang masih berdiri di hadapannya itu. Dan Riana berjalan menghampirinya.

"Kau mau apa sih sebenarnya?" tanya Dante sinis. Gadis itu menghela napas dan mengusap pundak Dante lembut. Namun Dante menepiskan tangannya. Ia tak suka dengan sikap Riana.

Kunang-kunang Di Langit IbukotaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang