BAGIAN XXXII

58 4 0
                                    

Sinar mentari yang menyeruak masuk melalui celah fentilasi, membuat Yasmin terbangun. Ia perlahan membuka mata dan menyadari bahwa ternyata hari telah terang. Oh, ia kesiangan, dan lupa melaksanakan sholat subuh. Tetapi kenapa Bu Ida tak membangunkannya? Biasanya perempuan itu selalu membangunkannya kalau adzan subuh berkumandang.

Perlahan, Yasmin bangkit dari tidurnya dan melangkah keluar dari kamar. Ia melirik jam dinding di ruang tengah, pukul tujuh pagi. Pasti anak-anak sudah berangkat sekolah, pikirnya. Aneh, mengapa tak ada yang berniat membangunkannya? Dengan langkah pelan, Yasmin menuju ruang belakang. Tidak ada siapa-siapa ia lihat disana. Sepi. Aneh, kemana Bu Ida dan anak-anak yang belum sekolah?

Meski belum menemukan jawaban yang tepat, Yasmin melangkah masuk ke dalam kamar mandi. Ia mengguyur tubuhnya, mandi, dan membersihkan dirinya. Setelah itu ia kembali keluar dengan pakaian yang telah terganti.

"Bu..." serunya memanggil-manggil Bu Ida. Hening. Tak ada sahutan. Yasmin menghela napas dan kembali masuk ke dalam kamarnya. Ia duduk termenung seorang diri di tepi ranjang. Pikirannya masih saja berkutat pada Dante. Oh, bagaimana nasib hubungannya bersama Dante? Apakah pemuda itu memang bukan kunang-kunangnya? Apakah memang hanya sampai disini kebersamaan mereka? Kalaupun iya, namun mengapa harus terpisah dengan cara yang seperti ini? Yasmin tak terima. Ia berniat ingin menjelaskan lagi pada Dante. Walaupun ujungnya nanti mereka akan berpisah, tetapi setidaknya Yasmin sudah berusaha mempertahankan dan berpisah dengan cara baik-baik. Bukan seperti ini.

Kejadian tadi malam juga masih membayang di pikiran Yasmin. Oh, apa yang mereka lakukan selepas kepergian Yasmin? Berbagai prasangka-prasangka buruk menghinggapi pikiran Yasmin. Namun ia mencoba menepis semua itu, karena ia percaya pada Dante. Ia yakin Dante masih mencintai dirinya dan takkan mengkhianatinya. Akan tetapi, meski begitu, tak pelak ia tetap merasa cemburu.

"Kak Yasmin..." lamunan Yasmin akhirnya pecah ketika Alif memasuki kamar. Perempuan itu terjingkat, menoleh dan melihat si bocah sudah berdiri di ambang pintu kamar dan menatapnya. Yasmin tersenyum pada Alif dan menghampiri bocah kecil itu.

"Hei. Alif darimana saja? Kok Kak Yasmin cari-cari tadi tidak ada?" tanya Yasmin.

"Alif main di halaman belakang sama Ibu dan Bang Bara," jawab bocah kecil itu. Bara? Seketika senyum di wajah Yasmin hilang ketika mendengar nama itu. Bara ada disini?

"Ayo Kak, ikut Alif ke halaman belakang," ajak bocah kecil itu lagi menarik-narik tangan Yasmin. Perempuan itu akhirnya tak bisa menolak, ia pasrah, mengikuti Alif menuju halaman belakang.

Benar saja, di halaman belakang sudah ada Bu Ida dan beberapa anak yang belum sekolah tengah bermain petak umpet bersama Bara. Pemuda itu tampak tengah meraba-raba kesana kemari, matanya dililit sebuah kain. Dan anak-anak berlarian di sekelilingnya.

"Ayo Bang Bara, tangkap aku," seru salah satu anak. Bara berusaha mengejar dengan mata tertutup. Tentu saja ia kewalahan dan tak berhasil menangkap si anak. Bahkan ia nyaris terjatuh. Hal itu mengundang gelak tawa dari anak-anak dan juga Bu Ida yang duduk di sebuah kursi di bawah pohon jambu.

"Ayo Kak, gabung," ajak Alif menarik tangan Yasmin bergabung dengan anak-anak yang tengah berlarian di halaman.

"Bang Bara..." seru Alif. Bara mencari-cari sumber suara dan berjalan menghampiri. "Ayo tangkap sini," ujar Alif lagi. Bara terus melangkah meski agak kesusahan karena matanya tertutup.

"Awas ya kamu. Kalau tertangkap, gantian kamu yang jaga," ujar Bara dan terus mengejar ke arah sumber suara. Begitu ia sampai di dekat Alif dan Yasmin, Alif menghindar berlari ke tempat lain, hingga Yasmin yang jadinya tertangkap oleh Bara. Pemuda itu langsung memeluk tubuh yang berhasil di tangkapnya.

Kunang-kunang Di Langit IbukotaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang