BAGIAN XXXIII

42 3 1
                                    

Keadaan kota Jakarta siang ini terlihat lebih padat dari biasanya. Bagaimana tidak, di sepanjang jalan Sudirman macet total. Dan bunyi klakson dari berbagai kendaraan itu menggema di udara siang nan panas terik. Keadaan seperti ini dimanfaatkan oleh para anak-anak jalanan. Mereka langsung memburu mobil-mobil yang terjebak macet demi menawarkan minuman, makanan cemilan, atau bahkan sekedar memberi hiburan berupa lagu agar para pengendara tak bertambah stres.

Karena keadaan yang panas terik, membuat banyak dari para pengendara yang membeli minuman dingin demi melepas dahaga di tengah kemacetan yang entah kapan akan mereda ini. Ya, di tengah keadaan sesulit apapun, selalu ada hikmah bagi orang-orang yang mau berpikir. Seperti saat ini, di tengah kemacetan yang mungkin membuat sebagian orang resah, justru merupakan keuntungan bagi para anak-anak jalanan. Ya, Tuhan itu adil. Hanya terkadang, manusia saja yang tak menyadari letak keadilan-Nya.

Dari lokasi kerjanya, Dante dapat menyaksikan keadaan jalanan. Ia kini tengah berada di lantai yang cukup tinggi, tengah memoles dinding bagunan agar lebih halus. Sambil terus bekerja, ia melirik keadaan jalanan, dan mendengus. Huh, Jakarta, kapan akan lengang, bisiknya dalam hati.

Dante kembali melanjutkan pekerjaannya. Ia terus memoles dinding bangunan itu agar lebih halus menggunakan semen. Setelah kering nanti tinggal diberi cat maka akan tampak bagus. Bangunan ini sebentar lagi nampaknya akan selesai. Beberapa orang pekerja lain juga nampak tengah bekerja. Ada yang memasang keramik di lantai, ada yang memasang kaca, dan lain sebagainya.

"Hei, istirahat dulu Dante," seru salah seorang teman Dante sesama pekerja tak lama kemudian. Pemuda itu agak terjingkat dan menoleh.

"Iya Bang," sahutnya. Si lelaki yang tadi menegurnya itu berjalan menghampirinya.

"Hei, sudah, ini sudah siang. Sudah waktunya istirahat. Nanti lanjut lagi," ajak lelaki itu menepuk pundak Dante. Pemuda itu tersenyum dan menghentikan pekerjaannya. Keduanya kini berjalan menuruni gedung.

"Eh, belakangan gadismu tak kelihatan lagi, kemana?" tanya lelaki itu sambil berjalan. Pertanyaan itu sontak membuat Dante terdiam, ia tahu siapa yang dimaksud lelaki itu, tak lain tak bukan pasti Yasmin.

"Siapa Bang?" tanya Dante pura-pura tak tahu, padahal sesungguhnya ia tahu betul siapa yang dimaksud lelaki itu.

"Alah, itu lho, yang sering membawakanmu makan siang. Si cantik jelita itu, kemana?" tanya si lelaki lagi. Dante terdiam dan tersenyum agak kaku pada temannya tersebut.

"Eh, dia... ada. Di rumah," jawab Dante agak terbata-bata. Lelaki itu nampak manggut-manggut.

"Kenapa sekarang tak kemari lagi?" si lelaki berkulit legam itu nampaknya penasaran dan ingin tahu sekali.

"Aku tak tahu Bang," jawab Dante akhirnya dan segera menghindar dari si lelaki begitu sampai di bawah. Ia merasa risih dengan pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan lelaki itu. Dante lalu membersihkan tubuhnya dan meminum air es yang memang sengaja di sediakan disana. Ah, pertanyaan si lelaki tadi itu membuat Dante jadi terpikir akan Yasmin. Mengapa ia tak jadi menemui Dante? Padahal ia sudah berjanji akan menyelesaikan semua masalah di hubungan mereka. Dan Yasmin berjanji akan membawa pemuda bernama Fabian itu untuk menjelaskan padanya. Tapi kenapa tak jadi? Ah, jangan-jangan memang ia tak bisa menjelaskan karena memang sesungguhnya ia berselingkuh? Dan kata-katanya pada Dante itu hanya semata-mata agar ia nampak tak bersalah. Ya, sepertinya begitu.

"Hei," sebuah seruan dan tepukan pelan di pundaknya membuat Dante agak terjingkat. Ia menoleh dan melihat Ario sudah berdiri di sebelahnya sambil tersenyum.

"Kenapa melamun siang-siang?" tanya lelaki itu.

"Tidak apa-apa, Bang," sahutnya. Ario menghela napas sejenak kemudian melanjutkan.

Kunang-kunang Di Langit IbukotaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang