PROLOG

100 4 0
                                    

Tidak ada persahabatan diantara cowok dan cewek yang bener-bener murni sahabat. Pasti salah satu ada yang punya perasaan lebih. Kalimat yang sering gue dengar dari kebanyakan orang. Dan itu benar! Karena gue ngerasain itu.

Gue nggak tau kapan persisnya perasaan itu muncul. Setahun yang lalu? Dua tahun yang lalu? Lima tahun yang lalu? Atau bahkan saat pertama kali dia pindah ke depan rumah gue?

Waktu itu gue benar-benar nggak peduli saat gue tau ada tetangga baru. Sama sekali nggak peduli. Tapi diluar dugaan, dia, memaksa gue untuk peduli.

Saat itu gue masih TK, umur gue baru 5 tahun. Gue baru aja pulang sekolah dan mau buka gerbang rumah saat dia panggil gue dengan caranya yang nggak akan pernah bisa gue lupain.

"Hey!"

Gue noleh, dan ngeliat bocah perempuan seumuran gue tersenyum lebar ke arah gue. Rambutnya dikuncir dua, ada boneka beruang lusuh di tangannya. Gue paling benci orang asing, apalagi orangnya sok kenal.

"Kamu baru pulang sekolah?" Sebenernya saat itu gue males menanggapi, dan berniat masuk ke rumah.

"Tunggu dulu." Dia narik tas gue sampai gue hampir terjengkang ke belakang. Gue melotot tidak suka.

"Lo itu kurang kerjaan benget ya?" Gue berkata ketus. Dulu, gue pikir dia bakal pergi dan nggak berani deketin gue lagi.

"Ayo main bareng!" Dia narik tangan gue secara paksa, seolah gue teman lamanya. Waktu itu gue kesel banget, pengen rasanya gue dorong dia supaya menjauh. Tapi kalau liat mukanya gue jadi nggak tega, jadi gue nurut aja dia mau narik gue kemana.

Dia narik gue ke dalam rumahnya yang kecil, beda banget sama rumah gue yang dua kali lipat dari ini. Rumah itu legang, hanya ada barang-barang seadanya.

"Ini punya kamu, dia namanya Beti" Dia memberikan boneka beruang yang tidak kalah lusuh dengan yang dia pegang. Gue menatapnya tidak suka. Dirumah gue nggak ada satu pun boneka, hanya ada mainan robot-robotan atau mobil-mobilan dan sejenisnya. Bagi gue boneka itu mainan anak perempuan yang haram buat dipegang anak cowok.

"Dan yang ini namanya, Beta" Dia mengakat sedikit boneka ditangannya. Gue menatap boneka beruang lusuh yang gue pegang--yang katanya bernama Beti-- dengan sebal.

"Sekarang kita main" Gue hanya diam. "Ayo main!" Gue tetap diam. "AYO MAIN!" Kali ini dia berteriak, matanya sudah memerah ingin menangis. Gue nggak heran, karena memang semua anak cewek itu cengeng.

"Gue nggak mau!" Kataku datar. Dan benar saja dia sudah menangis. Gue heran, gue belum kenal dia. Dia maksa gue buat main boneka--menjijikan--bareng dia. Gue nggak mau, dan dia nangis. Gue nggak salah kan?

Tiba-tiba ada wanita paruh baya yang keluar dari pintu belakang rumah dengan wajah cemas, sebenarnya terlihat masih muda. Hanya saja gurat kelelahan tak terhindarkan dari wajahnya.

"Ada apa Sunny?" Ternyata nama anak perempuan itu Sunny, dan wanita itu adalah ibunya.

Ibunya menatap gue yang berdiri masih memakai seragam sekolah lengkap sambil memegang boneka dengan wajah keheranan.

Sunny memeluk ibunya sambil menangis. "Aku cuma ngajak dia main bu, tapi dia nggak mau." Dia mengadu kepada ibunya sambil tersedu. Ibunya mengusap kepala anaknya dengan lembut. "Aku nggak salah kan bu? Aku cuma mau punya teman. Apa karena aku nggak punya mainan bagus makanya semua orang nggak mau main sama aku?"

"Kamu nggak salah sayang. Coba lihat--" ibunya menunjuk gue. "Dia bukannya nggak mau main, dia cuma nggak kenal kamu. Nah sekarang kenalan dulu, baru bisa main bareng." Kata ibunya sambil mengarahkan tangan Sunny kearah gue.

"Aku Sunny," katanya pelan, tangisnya sudah mereda. Gue berpikir sejenak. Lalu menjabat tangannya.

"Arka."

Ibunya tersenyum.

"Sekarang ibu mau antar Arka kerumahnya, dia harus ganti seragamnya." Sunny menggguk mengerti. Gue pulang yang tanpa gue sadari membawa Beti--boneka beruang--ke rumah.

Semuanya berawal dari hari itu. Entah bagaimana caranya, sejak saat itu Sunny menjadi teman gue. Ralat, Sahabat. Hari-hari gue lewatin bareng dia. Semuanya terasa beda saat dia ada. Dia benar-benar mengubah hidup gue jadi lebih berwarna, dia selalu menyinari hari-hari gue layaknya matahari. Seperti namanya; Sunny.

Dan sekarang, setelah sebelas tahun bersama. Setelah gue tumbuh bareng dia dan semua suka duka kami lewati bersama. Gue masih belum berani memgungkap perasaan gue.

Gue sadar sepenuhnya, Nggak seharusnya perasaan itu ada. Tapi gue nggak menyesal sama sekali, gue cuma takut kalau perasaan gue malah ngerusak semuanya.

Dia, Sunny Andini. Tetangga yang tinggal di sebrang rumah gue hanya bersama ibunya, karena ayahnya sudah meninggal.

Dia, Sunny Andini. Cewek penggila Sunset dan pembenci hujan.

Dia, Sunny Andini. Sahabat yang paling tau semua hal tentang gue.

Dia, Sunny Andini. Yang selalu gue jadiin prioritas utama, sekaligus orang yang selalu pengen gue lindungi dari apapun.

Dia Sunny Andini, yang selalu menyinari hari-hari gue layaknya matahari.

Dan gue, Arka Wiratama. Sayang sama sahabat kecil gue; Sunny.

Apa gue salah?














Intan Puspita

Back To YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang