DUAPULUHDUA

21 2 0
                                    

“Pada akhirnya ketika sadar kalau hati gue belum siap ngelepasin dia bahagia dengan orang lain. Apa masih ada cara yang tersisa buat dia bahagia di samping gue?”——Arka Wiratama.

=====

“Sebenarnya kita mau kemana sih, Rel?”

Sunny penasaran. Biasanya Darel memang selalu mengantar Sunny pulang pas shift part-time nya selesai. Tapi, tadi Sunny lembur. Serius. Tadi, pelanggan di kafe sedang ramai-ramainya, dan Mbak Saras sedang tidak terlalu sehat. Jadi, manejer kafe itu -—yang tidak lain adalah sepupu Darel dan orang kepercayaan Papa Darel—meminta jam Sunny ditambah, untuk membantu Mbak Saras yang keteteran. Sunny sih tidak masalah karena besok adalah hari minggu. Jadi, Sunny baru selesai ketika kafe tutup jam 9 malam. Seharusnya jam 5 sore Sunny sudah pulang.

Tubuh Sunny terasa lelah. Dan ia hanya ingin cepat sampai rumah, dan merbahkan badan dikasurnya. Sunny cuma mau itu. Namun Darel sepertinya tidak menangkap maksud gadis itu, ia malah tetap pokus menyetir tanpa menjawab pertanyaan Sunny.

Merasa diabaikan, Sunny bungkam. Matanya menatap keluar dari balik jendela mobil. Semua tempat yang dilewatinya asing dan berlawanan arah dari rumahnya. Jakarta ketika malam hari sangat indah. Semua lampu-lampu menyala, dari lampu jalan sampai gedung tinggi, gemerlapan, seolah mengudang siapa saja yang melihatnya.

Mobil Darel menepi di depan bangunan yang Sunny tidak tau namanya. Dikelilingi gedung-gedung tinggi, sangat menjelaskan kalau ini kawasan orang-orang elite. Sunny merasa sangsi, kalau ia tidak pantas. Lihat saja ia sekarang, hanya memakai celana jeans dan kaos seadanya.

“Mau ketemu temen.” kata Darel akhirnya. Menjawab semua rentetan pertanyaan Sunny sepanjang jalan.

“Aku gimana?” tanya Sunny spontan. Lagi pula ia tidak ingin ikut Darel bertemu teman-temannya. Kenapa nggak antar Sunny pulang dulu sih kalau mau ketemu temannya. Menyebalkan. Entahlah, ini memang benar atau hanya perasaan Sunny saja kalau malam ini Darel agak sedikit berbeda. Perangai ketika awal mereka bertemu seakan muncul kepermukaan. Sombong dan acuh. Darel menyimpan banyak rahasia, yang Sunny belum tau. Kadang Sunny bertanya-tanya kepada dirinya sendiri, apakah menerima Darel menjadi pacarnya adalah keputusan yang tepat?

“Ikut masuk.” Darel melepas seatbelt kemudian beranjak keluar.

Tanpa diminta Sunny melakukan hal yang sama. Mengekori cowok itu sampai masuk kedalam.

Langkah Sunny terheti tepat dipintu setelah masuk. Tubuhnya menegang, mulutnya mengaga karena terkejut. Masih tidak percaya apa yang ia lihat sekarang. Ini club? Suara bising yang asing menyeruak masuk kedalam telinganya. Musik berdentum, lampu kelap kelip yang menyilaukan, suara derai tawa yang kentara. Astaga! Ini bukan tempat Sunny, ia mau pulang.

Lengannya dicekal oleh Darel ketika ia berbalik, “Aku cuma mau ketemu teman bentar. Kamu tetap disini.” bisiknya ditelinga Sunny. Dan itu memberi efek kejut diseluruh tubuhnya. Bulu kuduknya meremang. Suara Darel dingin dan mengintimidasi. Ini bukan Darel yang biasanya. Apa Darel punya alter ego?

“Kaya biasa.” seru Derel lantang kepada bartender. Pria itu hanya mengangguk. Tubuhnya tegap dan dilengannya ada tatto, itu membuat Sunny agak ngeri. Saat ini keduanya duduk di depan meja bar. Darel tampak tidak terganggu dengan musik keras memekakan telinga, orang-orang yang menari seperti orang gila, dan bau aneh yang sedari tadi menyeruak masuk kedalam hidung Sunny. Cowok itu tampak seperti sudah terbiasa. Atau Darel memang sudah biasa kesini?

Sunny ingin cepat pulang. Katanya, Darel ingin bertemu dengan temannya. Tapi, sedari tadi Sunny tidak melihat tanda-tanda kehadiran teman cowok itu. Kemudian barteder tadi menengahkan dua gelas minuman bening. Seperti air putih. Atau memang air putih. Memangnya, tidak ada jus jeruk atau sejenisnya. Masa cuma disuguhin air putih. Tapi nggak apa-apa. Sunny nggak boleh minta yang macam-macam.

Back To YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang