nine ;hoshi

15K 1.3K 78
                                    

Aku mengunjungi sebuah tempat yang mungkin terdengar biasa saja, bahkan sebagian orang menganggap tempat ini mengerikan.

Makam Hoshi masih terlihat indah dimataku, walaupun sudah berumur sekitar 3 tahun. Waktu yang cukup lama untuk aku menyadari bahwa ia sudah meninggalkanku.

Tak ada yang bisa kulakukan kecuali menangis dan menangis. Itu buruk, tapi nyata. Hal ini adalah hal terburuk dalam hidupku selama ini.



"Hoshi!"

Aku mengenalnya sejak kecil, bisa dibilang aku sudah menjadi sahabatnya sejak lama. Toh, dia tahu aku menyukainya begitupun dia.

Kami berpacaran setelah ia pulang dari Jepang, orang tuanya bekerja disana dan dia setidaknya harus mengetahui bagaimana dan seperti apa perusahaan mereka.

Dia sepeeti mood maker bagiku. Walaupun aku tidak pernah menangis ataupun hal yang membuat mood ku berubah, ia selalu membuatku tertawa dengan lelucon dan aegyo nya.

Aku beruntung, sangat beruntung memiliki kekasih sepertinya.

Ia sungguh perhatian melebihi orang tuaku yang bahkan tidak peenah memberikanku kasih sayang sejak kecil, dan Hoshi-lah yang selalu menemaniku ketika sedih ataupun gelisah.

Itulah mengapa aku tidak ingin bepisah dengannya.

-

Tidak ada hal yang spesial dalam kencan kami. Namun bagiku, tidak ada masalah karena Hoshi selalu mempunyai hal baru yang akan ia tunjukkan padaku.

"y/n! Kau kena!"

Tiba-tiba saja ia menepuk pundakku untuk bermain kejar-kejaran. Dia bahkan belum mengajakku sebelumnya, itulah kenapa aku tidak pernah bosan bila berada bersamanya.

Setiap hari, entah kenapa rasa cintaku terhadap Hoshi selalu bertambah. Mungkin banyak orang yang akan malu jika mempunyai kekasih sepertinya, tapi aku tidak.

Aku masih ingat, hal konyol yang pernah ia lakukan adalah berteriak di Namsan Tower dan berkata jika ia menyukaiku dengan disaksikan beberapa pengunjung disana.

Tidak, aku tidak malu. Justru aku sangat bahagia.

"Aku lelah, ayo berhenti."

Ia mengangguk dan merangkulku untuk duduk di bawah pohon besar. Hoshi kemudian berlari ke sebuah toko yang tidak jauh dari sini, dan kembali dengan membawa dua kaleng softdrink.

Sudah kubilang, kan? Dia begitu perhatian.

"Terima kasih."

Senyumnya, membuat diriku senang. Aku tidak tahu kenapa, yang jelas setiap dia tersenyum padaku, seluruh tubuhku terasa nyaman.

Hoshi duduk disebelahku sambil menyandarkan kepalanya. Aku tahu ia lelah, dan anehnya ia masih menyempatkan diri membelikanku minuman.

"Kalau aku mati lebih dahulu, bagaimana?"

Aku kaget, jelas saja. Pertanyaan yang tidak pernah kubayangkan sama sekali keluar begitu saja dari mulutnya.

"Gila, ya?"

Bukannya menjawab pertanyaanku, ia malah memejamkan matanya. Aku sungguh takut, jika sesuatu hal terjadi padanya sekarang ini.

Tapi aku menepis semua teori yang muncul di otakku. Apapun yang terjadi, aku tidak akan pernah melepaskanmu jika kau tidak memintanya.

Hoshi mengantarku pulang seperti kebiasannya ketika pergi bersamaku. Ia menciumku sekilas dan pergi dengan mobilnya.

Aku melihat kepergiannya dengan perasaan khawatir, teori itu muncul lagi. Aku menggelengkan kepalaku cepat.

Hari ini ia mengajakku pergi ke café. Aku tahu, ia sebenarnya kurang menyukai kopi. Tapi, ia berkata jika akhir-akhir ini kecanduan harumnya.

Kami tidak menaiki mobil, mengingat jarak café tersebut dengan rumahnya tidak jauh, akhirnya kami berjalan kaki.

Hoshi kembali bercanda denganku. Aku melarangnya karena kami berjalan berdekatan dengan jalan raya.

Kami menyebrangi jalan. Semua kendaraan sudah berhenti, jadi aku memutuskan untuk langsung berjalan, namun Hoshi malah meneriaki namaku.

"Awas!"

Aku menoleh ke kanan, ada sebuah truk melaju kencang kearahku, Hoshi mendorongku agar aku tidak tertabrak truk tersebut.

Tubuhku jatuh ke trotoar, tanganku sedikit lecet. Semua itu tidak aku pedulikan karena orang yang mendorongku sudah jatuh dengan banyak darah, Hoshi.

Aku menghampirinya dan memangku kepalanya yang sudah bermandikan darahnya sendiri, ia masih sempat tersenyum padaku.

"Hei, lain kali hati-hati."

Air mataku tak bisa kubendung lagi dan lolos dengan mudahnya. Tidak, ini tidak benar. Teori payah yang sering kupikirkan benar-benar terjadi tepat didepan mataku.

"Jangan menangis."

Tangannya perlahan menggapai pipiku, menghapus air mataku yang masih tetap terjatuh. Ini hanya mimpi, bukan kenyataan.

Darah di pelipisnya seperti mendorong keluar. Aku berteriak kepada siapapun yang ada disana untuk menelpon ambulan. Nihil, mereka hanya melihatku seakan membiarkan Hoshi menderita.

Kumohon bertahanlah, seseorang sedang memanggilkan ambulan untukmu. Kau lupa jika hari ini ulang tahunmu? Aku sudah menyiapkan semuanya.

"Selamat, ulang tahun, Hoshi."

"Terima kasih karena kau sudah bersamaku selama ini."

Dia tersenyum bahagia, aku tahu ia menahan rasa sakit tapi bisakah kau menahannya sebentar lagi? Mereka akan segera tiba menolongmu.

Terlambat.

Ia menutup matanya sebelum mobil ambulan datang.

Aku menangis keras dan memeluknya erat, tak peduli bagaimana orang lain melihatku, aku tidak ingin Hoshi meninggalkanku begitu saja.

Namun, semua tidak sesuai dengan keinginanku.

Aku meletakkan setangkai mawar putih diatas gundukan tanah tersebut dengan mata yang sudah basah, entah kapan air mataku jatuh.

Kalian tahu? Aku merindukan kekonyolannya ketika bersamaku. Aku bahkan juga rindu bagaimana ia memelukku dengan hangat, tidak kusangka dia telah meninggalkanku untuk selamanya.

Yang kulakukan hanya menangis dan menatap batu nisannya. Aku ingin berteriak, namun itu percuma saja karena mungkin ia tidak akan bangun lagi.

"Happy birthday, Hoshi."

imagineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang