twenty three;vernon

10.6K 1K 9
                                    

Sekolah ini sangat menyebalkan. Bagaimana tidak, perempuan biasa sepertiku harus menjadi sasaran orang-orang yang tidak berpendidikan ini.

Apalagi lelaki bule yang terus saja berlagak sok hebat, membully orang-orang lemah yang bahkan tidak tahu menahu penyebab orang itu melakukannya.

"Kau, sini."

Hansol Vernon Chwe, lelaki mengerikan yang banyak ditakuti semua warga disekolah.

Bahkan seongsaengnim-pun takut padanya karena orang tua Vernon adalah komite sekaligus pendiri sekolah laknat ini.

Ia menumpahkan saus tomat di seragam milik Hana, teman dekatku. Teman-temannya, Mingyu, Wonwoo, dan Seungcheol tertawa keras.

"y/n."

Sialnya, diantara orang-orang yang pernah menjadi korban Vernon, ia hanya ingat namaku. Tambah saja keterpurukanku.

"Dia itu favoritmu," Vernon menyeringai.

Terakhir kali aku berurusan dengannya, aku harus menghabiskan lembaran tisu karena mimisan terlalu banyak. Orang tuaku tidak tahu, mereka berada di Busan.

Vernon berjalan mengelilingiku sedari tadi. Ini melelahkan dan sangat-sangat tidak nyaman, bayangkan saja menjadi pusat perhatian untuk dipermalukan secara berkala setiap hari.

"Kuberi kau dua pilihan. Menuruti apa yang aku mau, atauㅡ" mataku membulat sempura ketika sebuah benda tajam menggores pipi. Aku pun menoleh kearahnya.

"Dasar gila, kau hmmpㅡ" teriakan itu mendadak tercekat tatkala Vernon mencengkram daguku.

"Aku tidak akan mengulangnya kembali."

Laki-laki bodoh. Bagaimana aku bisa menjawab tawarannya jika mulutku tidak bisa bergerak karena cengkramannya yang sangat kuat?

Tangannya melepas daguku dengan kasar. Ya Tuhan, sungguh ini sakit sekali. Ayo y/n pilih mana saja asal semua ini cepat selesai.

"Kedua?"

Plak

Pipi kiriku memanas dan menjalar dengan cepat. Ini bukan pertama kalinya dia menamparku, tapi entah kenapa rasanya berbeda dari yang lalu.

Gila saja. Aku belum mengatakan apapun tapi dia sendiri sudah menentukan pilihannya. Mana ada orang yang ingin memilih tawaran yang kedua.

Tidak seperti lainnya, dengan dihiasi tawa riang dari teman-temannya maupun murid lain yang tengah menonton.

Hanya aku yang berada di suasana sangat sepi, terdengar suara Vernon ataupun aku yang kadang menahan sakit, juga sekedar menolak apa yang Vernon katakan.

Baru saja aku menyadari jika sudut bibirku berdarah.

"Yang mana?"

"Per-tama," membuka mulut saja sudah perih.

"Bagus," tangannya bergerak menepuk pucuk kepalaku dengan keras.

-

"Aku lelah, kenapa semuanya tidak adil?" aku meminum isotonik yang baru saja ku beli.

Dari kejauhan, aku melihat mereka sedang berbicara dengan salah seorang laki-laki yang pendek. Aku yakin sebentar lagi mereka akan beraksi.

Namun entah kenapa Vernon menatapku. Yang kulakukan hanya terdiam dan pergi begitu saja.

"Hei, mau kemana?" dia tersenyum.

imagineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang