Tentang Anzai Kira

17.4K 820 67
                                    

Rumah pertamaku adalah sebuah apartemen 1DK yang dibangun beberapa tahun setelah perang dunia kedua berakhir. Lantai kayu yang berderit, langit-langit penuh retak dan pertengkaran tetangga yang lantang. Sebuah tempat tinggal yang kumuh, tapi tidak sepenuhnya sunyi. Kamar kami ada di paling ujung lantai dua. Bahkan lampu remang-remang lorong pun tak dapat menyebarkan cahayanya sampai ke sana.

Keluhan selalu mendahului kalimat 'aku pulang'. Mama tidak pernah puas dengan rumah kecil ini. Dengan keadaannya, dengan tetangga-tetangga yang tak tahu aturan dan juga dengan induk semangnya yang genit. Sambil menghisap rokok, masih dengan riasan dan penampilan menornya, ia duduk menghadap keluar jendela. Mata kecilnya bertaut dengan bulan temaram, punggungnya pun melemas, dan selama beberapa detik mama menguasai waktu. Pertama kali aku melihat momen itu, aku pun paham apa arti dari keindahan.

Tentu saja mama adalah perempuan tercantik yang pernah kutemui. Dan aku tidak bicara begitu karena ia adalah orang yang melahirkanku, tapi karena memang itu adalah sebuah fakta mutlak. Rambut coklat naturalnya yang bergelombang, rona kulitnya yang menyerupai pasir, warna merah kekal yang ada di kedua pipinya, hidungnya yang kurus dan runcing, kedua matanya yang imbang dan bercahaya, serta leher rampingnya yang menyiratkan ketidakabadian. Kalau saja ia tidak banyak bicara hal picisan, Mama adalah definisi total dari sebuah seni. Tetapi aku tahu dengan pasti, bahwa kecantikan bukanlah sesuatu yang selamanya. Semakin cepat ia mekar dan gugur, semakin lama ia akan dikenang.

Mama bukan wanita yang pintar. Mulutnya kasar, perangainya juga tidak feminim. Tapi ketika ia berbicara dengan pelanggan-pelanggan beringas itu, ia tampak seperti malaikat. Tutur katanya yang halus, puji-pujian yang meninggikan dan nada suara yang merangsang. Ia memberikan semua yang diinginkan oleh pria-pria kosong itu. Meski mama lebih sering melakukannya pekerjaannya di luar, tak jarang juga ia membawa pulang para pemabuk itu ke rumah. Ada dua orang lelaki yang hampir setiap minggu menginap di apartemen kumuh ini. Seorang pekerja konstruksi yang 5 tahun lebih muda dari mama dan seorang salaryman tak berambut yang sudah lewat usia 40. Mereka tak pernah mengajakku bicara panjang, hanya sekedar senyum dan sapaan ringan. Tapi kalimat yang mereka ucapkan saat pertama kali bertemu denganku sama persis; "Mine, dia benar-benar putramu!"

Walau kehidupan kami jauh dari kata 'patut', mama tidak pernah merasa bahwa derajatnya lebih rendah dari yang lain. Setiap kali ada seseorang yang mencari ribut, entah itu istri salah seorang pelanggan atau hanya seorang tetangga yang sok tahu, mama hanya tersenyum polos dan berterima kasih atas perhatian tidak perlu yang ia dapatkan. Bukan karena ia bersikap sarkastik, atau ia memang seorang dungu tulen. Mama selalu beranggapan bahwa tiada seseorang yang jahat dari lahir. Keburukan seseorang bukanlah kemauan orang tersebut.

"Kira, Jika kau merasa sakit hati karena perlakuan seseorang, bencilah perbuatannya, jangan manusianya. Kita tidak pernah tahu apa yang seseorang alami dan rasakan hingga ia bisa berbuat seperti itu, tapi tidak ada rasa benci yang tak bisa kita pahami, semua ada alasannya."

Sebuah kalimat penuh kerasionalan yang tidak kusangka bisa kudengar dari mulut Mama.

Suatu Kamis, mama tidak kembali ke rumah. Ia tidak meninggalkan pesan atau bahkan makanan untukku. Biasa ditinggal sendiri, selama tiga hari aku menjalani keseharianku seperti biasa. Mama mengajarkanku cara memasak nasi, memanaskan makanan dan juga menjaga rumah dari orang yang tidak kukenal. Hanya kesepian malam yang membuatku khawatir. Dari banyaknya waktu, kenapa baru sekarang mereka bersikap layaknya tetangga santun yang menghargai kesunyian.

Pada hari keempat, induk semang datang menagih tagihan rumah, dan kepergian Mama langsung menjadi berita lokal. Aku adalah satu-satunya korban langsung dari perbuatan mama, tapi aku bisa ingat bahwa orang-orang dewasa di sekitarku lah yang menjerit paling keras. Para tetangga, rekan kerja Mama dan pelanggan-pelanggan yang merasa ditipu. Berkali-kali aku dipindahkan dan dititipkan di rumah-rumah asing hasil dari diskusi orang dewasa yang tak kupahami. Hingga akhirnya Bibi setengah baya pemilik kios rokok langganan mama memutuskan untuk menampungku sampai relatif atau dinas sosial datang menjemput.

To Kill A Homme Fatale [BL]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang