Tentang Yoshimune Touji

2.3K 196 4
                                    

A/N Bab ini saya unggah bersamaan dengan bab sebelumnya; "Tentang Anzai Daigo", so don't miss it!

Glosarium ada di bawah.

==

Kutaruh dua pak Lucky Strike di dekat vas bunga-bunga 1)Hanahamasaji, mungkin ajudan kakak yang menaruhnya. Ia memang laki-laki yang romantis, kadang aku merasa ia lebih cocok menjadi penulis 2)Haiku daripada seorang Yakuza. Tapi ketika seorang pria mengaggumi pria lainnya, maka di saat itulah mereka terjebak dengan siklus gokudo. Kekaguman cara hidup, etika ksatria tanpa jubah dan sebuah pertemanan dengan kematian—apalagi jika mereka bertemu dengan laki-laki yang tepat, seberapa lantangnya pun aparat bicara kebenaran, mereka tidak akan berpaling. Yakuza seperti tempat bagi mereka-mereka yang menginginkan perang dan kehormatan di dunia yang sudah damai ini. Orang-orang yang tidak siap untuk hidup biasa-biasa saja. Orang-orang yang tidak bisa hidup di dunia tanpa peperangan. Aku rasa aku bisa bersimpati pada mereka soal itu, tapi tidak dengan empati. Kenapa mereka tidak bisa membiarkanku sendirian saja?

Aku menarik kursi lipat reyot yang ada di pinggir tempat tidur dan memerhatikan wajah Aniki yang tidak bergerak seinci pun sejak pertemuan terakhir kami. "Jangan coba-coba mati dengan keadaan seperti ini. Pria sepertimu harusnya mati terhormat dengan 3)harakiri atau ditebas musuh yang kuat. Mati di atas ranjang menjemukan seperti ini.. Aku tidak akan menganggapmu sebagai kakak kandungku."

Dan setelah ia mati, aku yang harus menanggung semua tanggung jawab yang ditinggalkannya. Meski ayahku seorang Yakuza tulen, ia juga merupakan pengagung pengetahuan. Pena lebih tajam dari pedang, ia percaya itu, tapi karena dua-duanya sama-sama membunuh, kenapa tidak menguasai semuanya saja? Punya tiga orang putra adalah anugerah tak ternilai baginya. Kedua kakakku sudah siap untuk menjadi pewaris dari prestis dan tahta ayah, dan aku tak punya lagi sisa ruang kegunaan selain menjadi murid yang teladan. Hanya saja ayah lupa, bahwa gokudo selalu menggoda kematian, dan tak jarang gayung itu bersambut.

Kakak pertamaku mati konyol ketika ingin membungkam jurnalis yang menulis hal-hal buruk tentang kelompok kami. Padahal ayah sudah memintanya untuk tidak gegabah, tapi kakakku yang satu itu sangat haus akan pengakuan, mungkin karena banyak orang yang menganggapnya hanya mendompleng nama ayahnya saja. Habis, bagaimanapun juga Yakuza adalah sebuah keluarga fiktif, bukan sesuatu yang diwariskan karena ikatan darah. Kakak keduaku, mengambil pelajaran dari kejadian dungu itu. Kepala dingin, hati sekuat baja dan karisma yang luar biasa—Ia cocok sekali menjadi putra ideal ayah. Tapi apa gunanya bibit yang unggul ketika dewi fortuna tidak tertarik padamu? Jadilah ia dalam keadaan jumud seperti ini oleh sebab yang tiada seorang pun mengira—pembuluh darah otak yang pecah. Hanya tinggal tunggu waktu saja sampai ia benar-benar pergi dan aku diwajibkan mewarisi nama Yoshimune.

Bertahun-tahun aku menjalani hidupku sebagai anak biasa. Belajar, belajar dan belajar. Gokudo dan pahamnya hanya kucerna ketika aku memerhatikan ayah dan kakak-kakakku. Mereka tidak mewajibkanku untuk berpartisipasi dalam pertemuan para Yakuza. Kadang aku disamakan seperti Ibu yang tidak tahu apa-apa. Kami makan dari hasil keringat yang tidak jelas di mana muaranya. Darah-darah yang bersimbah, caci-maki tanpa henti dan bahu-bahu bidang penuh beban itu tentu saja adalah pemandangan sehari-hari di kediaman Yoshimune, tapi aku tetap hanya seorang pengamat. Sampai sekarang pun aku masih merasa begitu.

Namaku masuk ke dalam daftar kelompok beberapa tahun yang lalu. Sejak saat itu aku bertanggungjawab menjadi penghubung antara kelompok-kelompok afilisasi lainnya. Mengantar hadiah, membawa pesan atau sekedar menyetor muka seminggu sekali, memberi isyarat bahwa klan Yoshimune masih siap siaga. Ayah paham betul menjebloskanku langsung ke ranah kekerasan, menjadi jari-jari kaki dari organisasi kami, adalah hal yang dungu. Meski ia sudah membekalkanku dengan bela diri dan pengetahuan umum tentang gokudo dan kelompok-kelompok yang ada, tapi aku tidak ditempa dari jiwa, aku memahami dunia ekstrim ini dengan kepalaku. Tentu saja aku juga memerlukan pengakuan dari rekan-rekanku, jadi terkadang secara sukarela aku bergabung dengan aksi pemerasan mereka. Meneriaki, mengancam, menghancurkan seisi rumah, mengganggu tetangga-tetangga, penyiksaan, pelecehan, pemerkosaan, apa pun dilakukan untuk membuat target kita tunduk. Darah, keringat, alkohol, mani, saliva, nanah dan juga air mata—Aku sudah melihat semuanya dari basah hingga kering. Dan tentu semuanya sudah pernah meninggalkan jejak di kulit-kulitku.

To Kill A Homme Fatale [BL]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang