*Please read*
Bab ini diunggah bersamaan dengan bab selanjutnya: Tentang Kakeru. So don't miss it.
Untuk penjelasan beberapa nama/benda yang muncul dalam cerita ini, silahkan cek Glosarium yang saya sisipkan di akhir bab. Thank you, happy reading.
===
Tirai panggung pun diturunkan, berlomba dengan gemuruh tepuk tangan penonton yang dipenuhi rasa kagum. Tubuh ini masih terkapar pasrah, merasakan dinginnya lantai panggung. Lady Capulet memeluk kepalaku erat, masih menjerit meminta keadilan dari langit. Gerai surainya yang panjang menggerus kelopak mataku, tapi aku tak dapat membukanya dan berseru; singkirkan rambut kotormu! Sang Tybalt sudah mati. Ia hanya tinggal raga, dan jiwa yang masih ada di dalamnya perlahan kembali ke seorang Anzai Kyosuke.
Ini bukan akhir dari cerita yang ditunggu-tunggu semua orang. Penonton masih menginginkan lebih. Mereka masih menunggu-nunggu klimaks romansa paling tragis sepanjang masa. Ketika Romeo dan Juliet bergenggaman tangan dalam keadaan mati, di saat itu lah hati mereka semua akan berbunga-bunga. Namun dalam kala yang singkat ini, aku adalah pemeran utama dari tragedi. Aku adalah puncak dan juga pusat perhatian dari semua pasang mata. Tybalt yang mati konyol. Tybalt yang lengah karena emosi dan alkohol. Tybalt yang tewas setelah menewaskan yang lain. Tybalt yang tak punya apa-apa selain bayang antagonis menyedihkan. Ketika tirai itu diturunkan, berakhir sudah hidupnya yang singkat itu. Begitu cepat mekar, begitu cepat layu. Seburuk apa pun aroma yang dikeluarkannya ketika masih hidup, bunga tetap lah bunga.
Aku mencuci wajahku bersih setelah membersihkan riasan yang tebalnya bukan main itu. Kembali lagi menjadi pemuda berwajah tua, dengan kulitnya yang pucat seperti akan mati. Mata sipit yang sayu, hidung yang terlalu tirus dan bibir yang tipis. Aku meraba pipi kiriku halus, lalu mencubitnya keras, menyadarkan diri sendiri untuk bangun dan melihat kenyataan. Sedetik tadi rasa dengki pada paras adik laki-lakiku kembali menyerang. Jika saja aku secantik ia mungkin aku yang akan berdiri menjadi Romeo di panggung itu.
PRAK! Bunyi cermin yang kuhantam itu menghentikan suara obrolan para penari latar yang ada di ruangan sebelah.
Meski tidak menang, tapi aku adalah 20 besar Prix de Lausanne! Tapi mereka lebih memilih bocah Tanaka itu untuk menjadi Romeo. Aku tahu ia yang akan dicalonkan untuk kompetisi tahun ini.. Tapi bahkan teknik tariannya tidak sebagus itu. Dan akhir-akhir ini ia lebih suka bermain-main dengan seni kontemporer, hal yang mengacaukan postur dasarnya. Hanya saja wajahnya.. Wajahnya yang tidak buruk rupa itu.. Argh! Aku tak sudi memanggilnya tampan.
Setiap kali aku membenci orang lain, rasa sesak ini seakan ingin menelanku. Hanya ketika aku menjadi orang lain. Ya. Hanya ketika aku menjelma menjadi Rothbart, Brahmin, Iago, Tybalt dan begitu banyak karakter buruk rupa lainnya lah aku merasa sangat tinggi! Tidak ada yang bisa menjadi buruk seindah aku! Sebuah frasa yang ironi. Dalam dengki pun aku masih bisa menemukan nilai dari diriku ini.
Suara ketukan pintu menyadarkanku dari monolog gila ini. Manajer panggung masuk dengan wajah berseri-seri. Kacamata bulat bodohnya itu naik turun seraya ia berbicara. "Sudah resmi! Bulan depan kau akan menjadi bagian dari Royal Ballet!"
Sejenak seringai angkuh menghiasi parasku. Tapi hatiku melambung jauh lebih atas dari itu. Ini dia kabar yang kutunggu. Akhirnya aku bisa mengucapkan selamat tinggal dengan sanggar bobrok ini. Institusi yang menjerit-jeritkan seni tapi pada akhirnya yang mereka hargai hanyalah karya bernama penampilan. Rasanya menjijikan tidak dihargai oleh sesuatu yang receh. Lebih baik aku dimaki-maki dengan bahasa asing oleh mereka yang jelas berbakat daripada direndahkan tempat seperti ini.
Sambil bersiul aku pun keluar dari ruangan gantiku, menuju lobi di mana para penggemar sudah menunggu. Tapi aku tidak ke sana untuk bertemu mereka (lagipula pasti mereka semua lebih menunggu-nunggu Romeo kacangan itu), karena ayah dan keluargaku sudah menanti. Mereka harus dengar apa yang kudapatkan hari ini. Lebih dari sekedar performa hari ini yang fantastis, aku akan menjadi penari profesional di London!
KAMU SEDANG MEMBACA
To Kill A Homme Fatale [BL]
Historical Fiction[COMPLETED/NC17] Tokyo, 1977 Selepas ditinggal pergi oleh Ibunya, Kira menjadi bagian dari keluarga Anzai. Hanya satu peraturan mutlak di keluarga tersebut, "tidak ada anak yang tidak berguna". Dan Kira tidak punya kelebihan apa pun yang dapat membu...