Tentang Anzai Kira III

2.2K 210 4
                                    

       

"Oke, kau boleh tutup kakimu," ujar Dokter sambil mengeluarkan kepalanya dari kedua selangkanganku. Entah apa yang ia lakukan dengan alat kelamin itu, terkadang aku tak bisa membedakan perih dan geli. Tapi tidak ada satu pun kenikmatan di perlakuannya. Aku heran, apa serunya punya pekerjaan mengutak-atik bagian paling menjijikan manusia seperti ini? "Kau perlu untuk cek darah? Kudengar klienmu kali ini gemar menggunakan jarum suntik. Homoseks dan narkoba, kombinasi yang sangat berbahaya."

"Hmm.. Bisa lain kali saja? Aku masih ada urusan setelah ini," balasku ogah-ogahan sembari membenarkan seragamku.

"Kau yakin tidak butuh istirahat dulu? Tubuhmu itu banyak terkena trauma dan luka di abaimanamu belum sembuh total, kalau infeksi bukan cuma baketri yang masuk.. tapi juga HIV."

"Tenang saja, aku tidak akan melakukan yang aneh-aneh hari ini. Rasanya aku juga mau tumbang sekarang, Dok. Apa kau punya rekomendasi pil tidur atau sebangsanya? Akhir-akhir ini aku hanya bisa tidur setelah matahari terbit."

Dokter menggelengkan kepalanya, tapi ia tetap mendengarkan keluhanku. Dokter gadungan, tidak bersertifikat, tapi keahliannya di atas rata-rata. Ketika ada yang mencercanya, Dokter hanya menyeringai sambil beralasan bahwa ia tak punya kewajiban untuk menjadi seperti dokter biasa karena ia tak pernah disumpah. Dokter tak hanya bertanggung jawab soalku, tapi juga seluruh keluarga Anzai, ketika masuk ke rumah sakit publik menjadi masalah. Ia terampil dalam banyak bidang kesehatan, tapi jangan tanya berapa biayanya.

Di luar Kakeru sudah menungguku, ia begitu fokus dengan permainan sudokunya hingga tak sadar aku sudah berdiri di luar kaca jendela mobil. Ia akhirnya menyadari keberadaanku pada ketukan yang kedua. Meski tak bisa mendengarnya, tapi gerakan mulutnya yang terkejut jelas menyebut 'Kira-sama'. "Enak sekali kau sepertinya menyejukkan diri dengan mesin pendingin volume maksimal."

"Aah! Maaf.. Habis kau lama sekali, sih," balasnya seraya keluar dari kursi pengemudi. Layaknya seorang pengawal, ia membukakan pintu belakang untukku. Namun sebelum kaki ini melangkah masuk, seseorang menyerukan namaku dari jauh. Itu Matsumoto. Ia tidak banyak berubah dari enam bulan yang lalu, hanya saja jas yang ia gunakan jelas menurun jauh kualitasnya.

"Kira! Kira! Akhirnya aku bertemu juga denganmu.." Ia berusaha menahan berat badannya yang sulit untuk diajak berlari itu. Napasnya buyar tak teratur. "Kenapa kau tidak pernah meneleponku lagi? Aku tidak mengganti nomorku! Istriku sudah tidak tinggal di rumah, kau bisa meneleponku kapan saja."

Aku melirik penuh tanda tanya ke arah Kakeru. "Untuk apa aku harus meneleponmu?"

Wajahnya yang dipenuhi ekspresi lega barusan mendadak berubah pucat pasi. Kedua matanya berkedut dan ia bergantian memandangiku dan juga Kakeru, tapi akhirnya ia kembali fokus ke arahku. "Bukankah kau dulu selalu melakukannya? Kau bilang kau punya banyak masalah dalam keluargamu.. Bahwa kau ingin sekali aku yang mengadopsimu, atau setidaknya kau ingin dipelihara olehku. Anzai gila itu sudah membuangku hanya karena ia tak mau mengakui keteledornnya sendiri. Bahkan keluargaku sudah meninggalkanku.. Sekarang adalah waktu yang tepat bagi kita berdua untuk tinggal bersama. Mungkin aku sudah tidak bisa membelikanmu banyak barang seperti dulu, tapi aku yakin kita pasti-"

"Kalau keluargamu saja meninggalkanmu bukankah artinya kau sama sekali tidak ada artinya? Kau boleh bilang ayahku gila, tapi ia tak pernah meninggalkanku. Ia tak mengkhianatiku. Dan aku juga tidak akan melakukannya."

"..Lalu apa yang kau kuucapkan padaku, semuanya itu bohong?"

Sekali lagi aku melirik ke arah Kakeru yang sudah termakan kantuk mendengar pria ngelindur itu. Ia pasti juga sudah gerah dengan Matsumoto. Memang sekali-kali di antara beberapa pria, ada yang bebal keterlaluan sepertinya, mereka tidak bodoh hanya saja realita yang seharusnya sudah tertutup oleh tabir ilusi. Apa ia tidak bisa membaca sendiri kalau aku mendekatinya hanya karena ayah seorang? Pantas saja ayah menginginkannya mangkat. "Aku tak punya banyak waktu untuk mengobrol denganmu, Matsumoto-san. Kita tidak pernah hidup di dunia yang sama, jadi menyerah lah.. "

To Kill A Homme Fatale [BL]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang