A/N Maaf ya minggu lalu tidak sempat menulis karena sibuk baito :") Jadi minggu ini saya kasih dua bab (next chapter: Tentang Yoshimune Touji II) sekaligus.
==
Jumlah kematian yang kusaksikan dalam hidupku tak lagi bisa dihitung dengan jari. Serangan udara, mati kelaparan dan korban-korban kekerasan kejinya perang—mayat-mayat bergelimpangan itu tak lagi membuatku bergeming seperti orang sinting. Bau daging busuk, darah yang mengering, asap-asap runtuhnya bangunan, aku adalah mereka yang menjadi saksi dari kematian dan kelahiran dunia. Tidak ikut binasa bersama masa lalu, tapi juga tak bisa hidup sepenuhnya bersama masa depan. Mereka yang hidup di dua zaman, mereka yang mengutuk tapi juga merindukan perang. Melihat nyawa dapat musnah dengan begitu mudahnya, aku selalu ragu apakah hal itu membuatku menjadi lebih menghargai nyawa atau malah menganggapnya remeh.
Jumlah kematian orang-orang terdekatku yang kusaksikan dalam hidupku sudah begitu banyak hingga rasanya kata tragedi pun tak cukup untuk menggambarkannya. Kakek dan nenekku yang mati karena air sungai yang beracun, kedua orang tua dan saudara-saudaraku yang mati karena perang, teman-temanku yang mati demi kejayaan negara, guru-guruku yang mati karena ideologi mereka, kolega-kolegaku yang mati demi mengungkap kebenaran, Kenjizo yang mati karena ketidakadilan, dan putraku yang mati karena keberaniannya berdiri untuk dirinya sendiri. Sungguh aneh. Justru hanya kematian keluargaku yang tak pernah kusaksikan secara langsung. Hanya kabar dan jenazah yang tergeletak yang meyakinkanku bahwa mereka sudah tak lagi bernyawa. Seakan-akan ada episode yang hilang, seakan-akan mereka dicabut begitu saja ketika mataku sedang berkedip untuk sekedar beristirahat dari merasakan dunia.
Sejak Kenjizo pergi, aku tak pernah lagi melihat jasad seseorang yang kukenal di dalam ruang duka. Dalam setiap pemakaman yang harus kuhadiri, aku tak pernah sampai mengunjungi jenazah di dalam kotak sempit itu. Lebih tepatnya, aku menghindarinya. Melihat tubuh mereka yang kosong tapi tidak dengan bagaimana cara mereka mati, entah kenapa membuatku takut. Takut akan harapan bahwa mungkin saja mereka tidak benar-benar mati. Karena seyogyanya kematian dan kehidupan tak boleh bercampur. Ketika seseorang mati semua yang mengikatnya telah selesai. Aku takut jika aku mencuri pandang sedikit saja, jika aku mengintip sekelebat tubuh pucat itu, pikiranku akan menjamah ranah yang tabu. Bahwa aku akan sekali lagi memupuk dendam dan ketidakikhlasan, seperti apa yang selalu kupendam untuk Kenjizo.
Juri menutup pintu ruang duka di belakangnya, lalu ia duduk di sampingku yang tak bergeser sedikit pun sejak kami tiba. Ia menggenggam sapu tangan putih di tangan kanannya, menutupi bibirnya yang tampak khawatir akan memuntahkan sesuatu yang buruk. "Aku tidak sempat melihat wajahnya," gumamnya dengan suara kecil. "Tapi Kyosuke yakin itu Daigo."
"..Begitu, kau juga tak bisa melihat wajahnya." Ini adalah kematian keluarga yang pertama bagi Juri. Ia adalah putri semata wayang dari sepasang suami istri yang tinggal di kota kecil di Saitama sana. Kedua orang tuanya masih hidup sehat dan tidak menunjukkan tanda-tanda akan tumbang dalam waktu dekat. Yah, tapi alasannya tak dapat melihat wajah putranya itu jelas tak bisa disamakan dengan milikku.
Juri termakan dalam diam, aku pun tak punya niat untuk mengangkat pembicaraan apa pun. Kami hanya termangu menunggu sampai Kyosuke dan Shiori keluar. Sangat menyedihkan, padahal kami berdua adalah yang paling dekat dengan ajal, tapi justru kami yang tak dapat menghadapinya dengan berani.
Jari jemari perempuan di sampingku bergetar hebat. Lalu aku menggenggamnya, menginginkannya untuk diam. Tidak ada yang bisa menerimanya. Dan mungkin tidak akan ada yang pernah bisa. Ia sudah pergi.
Dari balik tembok aku dapat mendengar isak tangis Shiori. Ia sudah buyar tak keruan dalam perjalanan ke sini, sekuat apa pun ia berusaha menahannya, aku yakin air matanya tak akan pernah kering sampai hari pemakaman. Daigo adalah saudara yang paling memanjakannya. Ia adalah satu-satunya yang mau menunggu gadis itu berias diri, ketika semua anggota keluarga sudah siap siaga di dalam kendaraan masing-masing. Ia adalah sang kakak laki-laki yang melindungi adik perempuannya tanpa pernah menunggu permintaan atau nasihat dari orang dewasa di sekitarnya. Mungkin ia bukanlah pengaruh besar dalam hidup anak perempuan itu, tapi ia selalu ada untuk menjaganya dari apa yang tidak diinginkan. Tidak.. Tidak hanya pada Shiori, ia selalu menjaga setiap anggota keluarganya. Memberi perhatian kecil yang dapat membuat mereka dapat menjalani hari dengan lebih baik. Ia sadar ia tak bisa menjadi malaikat penolong untuk semua orang, tapi ia tahu bahwa seorang manusia, betapa pun lemahnya ia, punya kemampuan dalam meringankan beban seseorang. Aku tak pernah membayangkan ia akan pergi lebih dulu dariku, bukan karena ia masih terlalu muda, tapi karena aku tak bisa melihat dunia dengan lubang yang ia tinggalkan. Tidak ada yang dapat menggantikannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
To Kill A Homme Fatale [BL]
Ficción histórica[COMPLETED/NC17] Tokyo, 1977 Selepas ditinggal pergi oleh Ibunya, Kira menjadi bagian dari keluarga Anzai. Hanya satu peraturan mutlak di keluarga tersebut, "tidak ada anak yang tidak berguna". Dan Kira tidak punya kelebihan apa pun yang dapat membu...