Tentang Yoshimune Touji III

1.5K 113 1
                                    

Bukan pertama kalinya aku melihat kepala yang menggelinding, lari dari tubuhnya.

Musim panas yang ketigabelas, ketika semuanya masih ada di sana, di tempat yang seharusnya. Sorata dan Toshiro memainkan kuda-kuda catur mereka, dengan aku di antaranya sebagai pengamat. Keduanya memang payah dalam Mahjong dan Shogi—permainan yang lebih penting dikuasai di dunia ini—tapi dalam catur, tiada tandingannya. Yang satu cepat panas, yang satu terlampau dingin, tapi sama-sama tidak gegabah. Sungguh pertandingan yang tak pantas untuk dilewatkan.

Minggu pagi yang sedikit mendung, tapi keringat pun masih bercucuran. Aku masih dengan seragam musim panasku. Soal-soal sekolah yang harus kukerjakan semuanya tergeletak di bawah meja, kalah oleh rasa penasaranku terhadap permainan keduanya. Kadang Toshiro menjelaskan kepadaku apa saja fungsi masing-masing pion dan apa saja yang bisa dilakukan dengan mereka. Tapi hanya Sorata yang memberikanku gambaran kapan keadaan terjepit, kapan keadaan masih bisa dibalikkan. Fungsi dan kesempatan, tiada guna hanya memahami salah satunya saja.

Hari itu Toshiro lebih banyak menang. Mereka bertanding sampai hari gelap, menyia-nyiakan hari libur yang hampir tak pernah datang lagi itu. Toshiro menyuruhku mengambil kaleng-kaleng bir untuk merayakan kemenangannya di depan kakaknya yang bersungut-sungut. Bir milik kakak-kakakku disimpan di lemari es dapur belakang, tempat yang gelap dan banyak tikusnya. Ketika pintu geser yang berderit itu kubuka paksa, aku mendapati perempuan muda yang merungguh di lantai. Rambut panjangnya yang acak-acakan menjuntai kemana-mana. Ia telanjang, hanya mengenakan celana dalam. Di antara kedua telapak kakinya terpatri bercak darah. Ia tersedan-sedan. Kemudian dinaikkan wajahnya yang babak belur, menatapku seakan-akan aku malaikat utusan.

Aku tak menggubrisnya. Tugasku ke sini hanya untuk mengambil bir.

"Hei kau..," panggilnya. "Kau si putra ketiga, bukan?"

"Cuma pembantu."

"Jangan bohong.. Kau si bungsu!" Ia merayap cepat. Susah payah menjangkau kakiku yang sudah ada di depan lemari pendingin. Lehernya terpampang, dan bekas ikatan rantai itu tidak tampak seperti buatan. "Hari ini ia melepasku, entah kenapa.. Aku tidak tahu.. Aku ingin sekali lari, toh ia sudah seakan menyuruhku lari.. Hanya saja.. Ketika sampai di sini, nyaliku surut. Bagaimana kalau ia membohongiku? Bagaimana kalau aku benar-benar lari dan ia ternyata mengejarku? Membantaiku dan juga orang-orang yang mengenalku?"

Aku menepis tangannya yang kotor. Ia tidak marah. "Lari saja. Ia memang sudah bosan denganmu."

Senyum yang perempuan itu lukiskan tidak akan pernah kulupakan seumur hidup. Bukan karena tampak begitu indah dan mencekam. Tapi karena aku tak pernah bertemu manusia yang menunjukkan ekspresi lebih dungu dari itu. Tentu saja ia lari. Dan tentu saja ia diburu. Ditebas tanpa ampun dan kepalanya sempat terlantar di halaman belakang selama beberapa hari. Tidak ada yang sudi mengambil kepala pelacur itu. Ia bukan hanya saja seorang pelacur, tapi juga pembunuh. Ia tidak membunuh dengan pisau, tapi dengan penyakit kelamin yang ia derita. Entah siapa yang mengutusnya, tapi jelas seseorang ingin bermain iseng dengan menyuruh perempuan itu bekerja di wisma pelacur langganan kelompok kami. Sebenarnya kalau dibiarkan pun ia bakal mati. Tapi selagi ia masih bisa membunuh dalam keadaan sakitnya, tidak ada yang namanya pengampunan.

Kepalanya yang sudah busuk itu tersangkut di semak-semak. Ajaib, gincu merahnya yang samar masih berbekas di bibirnya yang setengah terkoyak. Matanya setengah terbuka. Baunya yang menyesakkan lama kelamaan membuatku menyerah. Tapi setidaknya hari itu aku memahami lagi satu hal tentang apa yang bisa diterima olehku. Manusia yang sepotong-sepotong, tidak buruk juga.

Ketika kepala bawahan Maeda itu menggelinding ke kolong piano, aku sempat terdistraksi, mengulas balik kejadian yang lalu. Aku tidak tahu semasa masih utuh bagaimana pria malang itu tampak. Apakah lebih tampan? Lebih gagah? Entahlah, aku tidak lagi tertarik mencari tubuhnya meski masih ada di ruangan ini. Bagiku jiwanya hanya ada di potongan kepala itu saja.

To Kill A Homme Fatale [BL]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang