Tentang Anzai Kira IV

1.7K 184 8
                                    


Bunyi gemeletak es yang mencair di gelasku menandakan waktu yang telah terlampau lama. Padahal aku sudah memutuskan untuk datang setengah jam lewat dari yang telah ditentukan, tapi rupanya keteledoran Sumi dan sikap tidak sopannya itu tidak juga membaik. Lebih 40 menit, perempuan mungil yang tampak mencolok dengan sepatu ungu ber-hak tingginya itu akhirnya muncul dengan wajah lega, seakan-akan ia takut aku sudah pergi lebih dulu. Sumi yang sudah menjadi legal ini tidak lagi menjadi bagian dari Himeros. Bukan karena ia tak lagi membutuhkan uang, tapi karena luka bakar parah yang membekas di leher kurusnya. Corak merah kecoklatan itu menyebar dari bagian kanan, sekilas terlihat seperti laba-laba besar yang menjadi benalu.

Setahun lalu, seorang pelanggan yang tidak terima cintanya ditolak oleh Sumi mendatanginya dan menyiramnya dengan air keras. Meski wajahnya lolos tanpa bercak, tapi Sumi tidak lagi percaya dengan keselamatan dari berkecimpung di bisnis seperti ini. Ia pun memutuskan untuk berhenti dan hidup bergantung dengan kekasih prianya waktu itu. Sampai akhirnya hubungan mereka memburuk karena masalah finansial dan pria itu mencoba untuk membuat Sumi kembali pada pekerjaan lamanya.

"Aku harap kau tidak terlambat karena hal-hal buruk."

"Maafkan aku, Kira.. Tadi Ibuku datang untuk meminjam uang lagi. Entah sudah yang keberapa bulan ini." Bola-bola mata hitam Sumi yang mengkilap tidak memancarkan sedikit pun kebohongan.

"Apa ia tega memintanya darimu?"

Sumi tersenyum dengan susah payah. Surai-surainya yang telah kembali hitam menutupi wajah tanpa riasan itu. "Kau tahu.. Aku tidak bisa menolak mereka. Lagipula apa salahnya membahagiakan orang tua?"

Dulu aku merasa bahwa Sumi adalah refleksi diriku. Sama-sama dibutakan oleh ketundukan kami pada orang tua. Tapi aku salah, Sumi jauh lebih baik dariku. Ia melihat perbuatannya itu sebagai cara ia membalas budi dari apa yang telah keduanya lakukan saat ia kecil, terlepas dari apa yang mereka lakukan setelah ia besar. Perbuatan kecil yang dilakukannya tak hanya untuk sang Ayah dan Ibu, tapi juga demi kebahagiaan dan kepuasannya sendiri. Menjadi anak yang berbakti adalah keinginannya, dan mungkin juga adalah tujuan hidupnya.

Tapi aku berada di jurang seberang Sumi. Dulu aku percaya bahwa apa yang kulakukan untuk keluarga Anzai adalah sesuatu yang dapat menggantikan rasa terima kasihku kepada mereka. Menjadi berguna adalah keinginanku. Sekeji apa pun perlakuan yang kuterima, semenderita apa pun aku menjadi, menjadi Homme Fatale adalah pilihanku. Namun pilihan adalah kata yang rancu. Memilih di antara apa? Memilih atas dasar apa? Apakah sesungguhnya aku tidak punya kesempatan memilih? Bahwa sebenarnya menjadi berguna adalah pilihan satu-satunya?

"Tentu saja aku tidak mempermasalahkan apa yang kau lakukan, Sumi. Aku siap membantumu sebisaku. Tapi sejak terakhir kali kita bertemu, tidak banyak yang bertambah dalam tabunganku. Aku sudah tidak lagi berhubungan dengan banyak pria seperti dulu."

"..Apa kau akhirnya sampai pada misimu yang sebenarnya?" Perempuan itu terbengong-bengong.

"Ya, begitulah. Walau yang bersangkutan tidak menggubris panggilanku akhir-akhir ini. Aku ingin tahu apa yang terjadi.. Tapi di satu sisi aku merasa malas untuk peduli."

Sumi menyeruput jus jeruknya habis sambil matanya tetap pada sosokku. "Tidak seperti biasanya kau malas-malasan soal pekerjaan. Apalagi ketika kau ingat harus melapor pada ayahmu, pasti kau akan bersemangat menjalani tugas-tugasmu."

"..Entahlah."

"Biar kutebak, kau menemukan sesuatu yang lebih menarik dari semua ini?" Wajahku berpaling ke arah sang lawan bicara. Seringai kemenangan atas jawabannya yang tepat itu membuatku sedikit kesal. "Ayo beritahu aku! Siapa orangnya?"

To Kill A Homme Fatale [BL]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang