Setiap Sore (one shot)

453 24 1
                                    

Judul: Setiap Sore (one shot)
Author: coffee-addicted
Tanggal pengumpulan: 22 Mei 2016

============================


Hari Pertama ...

Aku melihat anak laki-laki yang sedang menatap rumah yang ada di balik bukit itu dengan serius. Seakan-akan tak ada hal yang lebih indah daripada itu. Pipinya yang begitu tirus, warna kulitnya yang sedikit memucat, dan wajahnya datar tanpa ekspresi. Sudah hampir seminggu dia melakukan hal itu dan aku ingin sekali menegurnya namun aku takut membuatnya terganggu.

Selama seminggu ini aku memperhatikannya, aku merasa ada sedikit kejanggalan dengannya. Dengan kamera yang selalu dia kalungkan, ekspresinya, bahkan semuanya. Dia mampu bertahan menatap rumah itu hingga senja menyapa dan datang kembali ketika matahari sudah menunjukkan sinarnya. Aku tak tahu kalau itu mungkin hanya perasaan aku saja karena aku tidak mendegarkan sedikit keluhan tentangnya, palingan hanya kasak-kusuk membicarakan dia tentang kebiasaan anehnya. Tiba-tiba dia berbalik dan melihatku yang sedang memperhatikannya. Dengan mukanya yang datar, dia mulai berjalan mendekatiku.

Aku mundur beberapa langkah untuk menghindarinya. Aku takut dengan anak laki-laki itu. Aku mulai berkeringat dingin dan tubuhku tiba-tiba menegang. Aku terus melangkah mundur hingga akhirnya punggungku menyentuh tembok dingin. Aku menutup kedua mataku saat dia semakin mendekati ku. Deru nafasnya kini terasa menghangat menerpa wajahku. "Aku tak semenyeramkan yang kamu kira." Bisiknya yang tepat di telingaku. Jujur, aku benar-benar merinding sekarang. Nafasku kini terasa sesak sekarang, aku kena panic attack sekarang. Sial.

"Maksud kamu?" aku bertanya kembali padanya. Suaraku bahkan terdengar seperti tikus terjepit.

"Ethel," ujarnya sambil mengulurkan tangannya untuk dijabat. Ujung bibirnya memang tertarik sehingga dia tampak menyunggingkan senyum. Aku terpatung melihatnya, bukan terpesona, hanya saja aku merasa sedikit aneh. Kuakui senyumnya begitu memikat dan mempesona.

Aku segera membuang jauh-jauh pemikiran burukku tentang dia. Aku menjabat tangannya dengan senyuman khasku. "Hellen, bukan helm." Ujarku sambil membawakan sedikit candaan terhadap namaku. Sebenarnya, aku sering di-bully hanya karena namaku ini.

Aku rasa dia bukan orang jahat ataupun orang yang melakukan tindakan kriminal. Tampangnya yang tampak begitu lugu dan gayanya yang begitu polos membuatku semakin yakin akan itu. Tapi, aku harus berjaga diri juga karena memiliki rupa polos belum tentu orang baik-baik.

"Hellen, pulang bareng yuk?" ajaknya dengan penuh semangat. Aku mengangguk dan melihat wajahnya sebentar. Dan kali ini aku tak melihat wajahnya dengan ekspresi datarnya seperti tadi. Kurasa, dia tidak memiliki teman.

Kami pun berjalan beriringan dan kuketahui kalau dia itu adalah orang yang sangat menyenangkan. Dia yang begitu humoris dan asyik membicarakan segala hal. Selama kita berjalan, kita membicarakan hal yang kita sukai.

Rumahku lebih dulu sampai dibandingkan rumahnya. Aku mengucapkan terima kasih karena dia telah mau menemaniku pulang sekaligus teman baruku. Sebelum dia pulang, dia mengeluarkan secarik kertas dan menuliskan sesuatu di kertas itu.

Kalau kamu mau ketemu aku, temui aku dimana kamu melihat aku.

Aku masuk ke dalam rumah sambil memegang kertas tu degan erat. Jujur, aku tak sabar menantikan hari esok.

Hari kedua ...

Aku hari ini mendengar berita hilangnya anak-anak secara tiba-tiba saat malam mulai menyapa. Ibu dari anak itu menangis tersedu-sedu hingga membuat satu kampung resah pada penculikan anak itu. Para tetangga juga mulai heboh membicarakan itu.

Event Mei WIDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang