A Half Real (Chapter I)

46 3 1
                                    

Judul: A Half Real (4 chapter)
Author: Rereanli akiffada
Tanggal pengumpulan: 25 Juni 2016

====================

1|| FIRST MEET

Hari beranjak semakin larut, Davino memacu kencang motornya membelah jalanan kompleks perumahan. Motornya berhenti di depan pagar bercat hitam. Di dalamnya, rumah dengan dominasi warna abu-abu dan merah nampak sepi. Davino melirik ke arah jam yang melingkari pergelangannya.

23.15

Jelas saja rumah itu sudah sepi. Malam semakin larut, ditandai dengan hembusan angin yang bertiup cukup kencang. Davino turun dari motornya, kemudian membuka pintu pagar. Setelah memasukkan motornya ke dalam dan mengunci pintu, Davino naik ke lantai dua, tempat kamarnya berada. Sayup-sayup, ingatannya masih melayang pada kejadian beberapa jam yang lalu. Ia bertemu dengan sosok gadis cantik di taman depan kompleks. Kulit putih pucatnya, sama sekali tidak memudarkan aura kecantikannya. Tetapi, yang membuat Davino tertarik adalah sosok itu nampak menyimpan sakit dan kesedihan yang mendalam. Ia bahkan tak sempat menyapa sosok itu. Gadis itu hanya duduk diam, dan memandang datar ke arah Davino.

"Rasanya aku tidak pernah lihat gadis itu sebelumnya. Siapa dia?" batin Davino.

Ia benar-benar lelah hari ini, membuatnya semakin mudah untuk jatuh ke alam mimpi. Davino terlelap, tanpa berhasil mencari tahu siapa sosok gadis berwajah sendu dengan kulit putih pucat yang di temuinya beberapa jam yang lalu.

***

"Daviiiiin ... sarapan dulu sini!" Itu suara Arinta, Mama Davino. Ia masih sibuk menyiapkan sarapan untuk suami dan anak laki-laki semata wayangnya. Rutinitas pagi yang menjadi kesenangan tersendiri bagi Arinta.

"Harus ya, Ma, teriak-teriak, gitu?" kata Davino dari arah tangga. Ia menarik kursi makan dan duduk manis di sana. Tak lama, Papanya menyusul dan mereka memulai sarapan dengan obrolan hangat khas keluarga bahagia.

"Kuliah kamu kapan selesai?" tanya Arman, Papa Davino. Ia meneguk kopi hitam yang baru saja dibawa sang istri.

"Tinggal dua semester lagi, Pa. Sabar dong, haha, Vino juga kepinginnya cepet lulus lah," jawab Davino dengan santai.

"Baguslah. Kamu persiapkan diri untuk segera menempati satu posisi di kantor ya, Vin," ucap Arman pada Davino.

Davino hanya menggangguk samar. Ia sudah memperhitungkan permintaan Papanya. Mereka berdua menyelesaikan sarapannya, kemudian Davino berpamitan berangkat ke kampus.

Ketika motornya melaju melewati taman depan kompleks, ingatan Vino kembali pada kejadian semalam di mana ia mendapati seorang gadis yang duduk sendiri di bangku taman. Pagi ini, ia juga mendapati hal yang sama. Vino refleks mematikan mesin motornya. Sosok gadis dengan rambut coklat gelap tergerai itu menoleh ke arah Vino. Ia melemparkan pandangan datar, tetapi sarat akan maksud. Entah, apa maksud sosok gadis itu memandang Vino demikian. Vino mencabut kunci motor. Lalu, seperti mendapat satu dorongan, ia melangkah menuju sosok gadis itu. Vino memposisikan diri di sebelah si gadis. Ia hanya diam memandang pada sosok gadis itu. Rambut coklatnya yang tergerai, sebagian menutupi wajah putih pucatnya.

"Halo." Hanya suara itu yang mampu keluar dari mulut Vino. Ia mendapati si gadis menoleh ke arahnya.

"Hai," jawab gadis itu. Suara agak sedikit parau dan lirih.

"Pagi-pagi begini udah duduk di taman. Gak pake jaket, lagi. Emang gak kedinginan, ya?" tanya Vino, ia menilik tubuh si gadis di sebelahnya dari atas sampai ke bawah.

Gadis itu menggeleng pelan. "Ada yang lebih dingin dari itu," jawabnya.
Vino mengerutkan keningnya. "Kamu aneh," gumam Vino pelan, tetapi si gadis yang mendengarnya menoleh menatap mata Vino.

"Aku Alena. Kamu pasti mau berangkat ke kampus, 'kan? Sudah sana, nanti terlambat," ucap si gadis, yang akhirnya Vino ketahui bernama Alena.

Alena kemudian bangkit, tetapi tak kunjung melangkahkan kakinya keluar dari area taman kompleks.

"Mau ke mana?" tanya Vino, ia juga mengikuti Alena yang bangkit dari kursi.

"Mau ke sana. Sudah sana kuliah. Hati-hati di jalan." Pesan Alena. Ia akhirnya berjalan pelan keluar melewati pintu taman kompleks.

"Eh, Mas Vino, ya? Mau ngampus, Mas?" tiba-tiba terdengar suara ibu-ibu menegur Vino.

"Eh, ada Bu Ratna. Iya ini mau berangkat kuliah, Bu. Mari," jawab Vino sopan.

Setelah membalas pertanyaan Bu Ratna, Vino kembali menoleh pada pintu keluar taman. Tetapi nihil, ia tak mendapati siapa pun di sana. "Cepat banget, jalannya Alena," batin Vino. Ia akhirnya memutuskan untuk segera berangkat ke kampus. Kelas akan dimulai tiga puluh menit lagi.

Di sana, di sebelah pagar taman kompleks. Gadis berambut coklat gelap dengan pandangan datarnya, berdiri di sana. Gaun putih selututnya nampak bergerak perlahan tertiup angin. Senyumnya samar-samar terlihat. Senyum yang sarat akan kesakitan dan kesedihan.

***

"Jadi maksud Papa, Aldea mendapatkan bagian yang lebih besar dari pada Arman? Kenapa begitu? Di sini, 'kan, Arman yang anak tertua. Lagi pula, Dea kan sudah menikah. Ada Arya yang menanggung hidupnya," protes Arman pada papanya.

Papanya hanya menghela napas panjang. "Arman, dengar, Dea membutuhkan banyak dana untuk memulai usaha yang baru. Pekerjaan Arya sedang tidak stabil. Mengertilah, Arman," ucap Papanya.

Arman memalingkan wajahnya tak suka. Selalu saja begitu. Dari dulu sampai sekarang, selalu Aldea yang menjadi prioritas papanya. Bahkan, setelah sekarang Dea menikah dengan Arya pun, papanya masih suka sekali mencampuri urusan mereka berdua.

"Terserah Papa saja," kata Arman, kemudian melangkah keluar, menjauh dari ruang tamu tempat perdebatan kecil dengan papanya tadi. Papanya, yang sudah tak lagi muda dan terbatas ruang geraknya.

Event Mei WIDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang