3|| A Pieces of Heart
Vino baru saja menyelesaikan mandinya. Entah mengapa, sejak tadi pikirannya tak pernah lepas dari Alena. Gadis itu begitu misterius sekaligus dingin dalam satu waktu.
Vino melempar handuknya asal ke atas kasur. Ia berjalan mendekati jendela kamarnya. Sudah larut, tetapi jendela masih terbuka cukup lebar. Pantas saja, Vino merasa agak dingin malam ini. Saat tangannya bergerak menutup jendela, samar-samar ia seperti melihat bayangan Alena di depan pagar rumahnya. Alena yang berdiri dan diam seperti biasanya.Vino menegaskan penglihatannya sekali lagi. Meyakinkan dirinya bahwa yang berdiri di bawah sana, memang benar Alena. Gadis yang berhasil memenuhi pikirannya saat ini. Seakan-akan jejaknya berada di mana pun. Vino kembali menutup tirai jendelanya. Dadanya bergemuruh sedikit kencang. Seingatnya, Vino bahkan belum memberi tahu dimana letak rumahnya secara persis pada Alena. Tetapi, ia sudah mendapat kejutan dengan mendapati Alena yang berdiri di bawah sana. Beberapa kali berinteraksi dengan Alena di tempat yang sama, rasa ingin tahu Vino rupanya sudah berada di titik puncak. Vino berniat untuk turun ke bawah, dan memastikan jika itu memang benar gadis yang sering ia temui di taman depan kompleks. Gadis cantik, yang menyimpan banyak rahasia.
Tetapi, Vino letih. Ia baru saja pulang dari kampusnya, menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan oleh pembimbingnya. Wajahnya kuyuh karena aktivitas di luar benar-benar padat beberapa hari ini. Di tambah lagi, ia harus mencerna setiap omongan yang dilontarkan Alena padanya, membuat kepalanya serasa berdenyut makin sakit. Sekarang matanya melihat ke luar jendela lagi, Alena sudah tidak ada di sana. Kedua bola matanya menelusuri setiap sudut di depan rumahnya, tetapi ... nihil. Badannya terasa kaku, serta kepalanya berdenyut-denyut. Vino butuh istirahat. Ya, setidaknya untuk saat ini. Perihal Alena yang tiba-tiba muncul di depan rumahnya, lalu kembali hilang begitu saja, mungkin beberapa hari lagi ia akan ke taman. Menemui Alena.
Untuk berusaha mencairkan suasana hatinya, Vino menyalakan musik dari speaker di kamarnya. Padahal, hari sudah beranjak semakin malam dan kamar Vino tidak kedap suara.
"Vino!" bentak Arinta. "Kenapa rumah jadi berisik sekali?"
Arinta, wanita paruh baya bergaun malam, dengan rambut yang mulai memutih digelung menjadi sanggul. Ia berkacak pinggang di luar kamar Vino dengan napas yang tersengal-sengal, ekspresinya sudah menunjukkan kejengkelan. Pasalnya, Vino menyetel lagu semi rock di dalam kamarnya dengan volume cukup besar. Tentu saja menganggu ketenangan Arinta yang sedang bersantai dengan suaminya.
"Davino," katanya lagi, sekarang lebih kencang. "Buka pintunya! Atau ... Mama suruh Papa kamu dobrak kamar ini. Keluar kam-"
Belum selesai Arinta berbicara, cengiran polos diperlihatkan oleh Vino. Vino mengangkat jari tengah dan telunjuknya membentuk pola damai. Sebenarnya ia tahu salah, hanya saja, keinginannya untuk memutar koleksi lagu semi rock milik band favoritnya sudah tidak dapat ditahan lagi. Hitung-hitung memperbaiki moodnya lebih baik lagi.
"Maaf, Ma, Vino benar-benar lagi bosen karena aktivitas Vino akhir-akhir ini."
Arinta menghela napas pelan. Kalau sudah begini, ia tidak bisa memarahi anak lelaki satu-satunya ini. Ia maklum karena alasan Vino memang benar adanya.
"Kalau bosen ya cari kerjaan sana. Keluar buat nongkrong atau chatting gitu sama cewek. Masa diumur yang segini masih betah jomblo aja," ucap Arinta, mengusap bahu anaknya pelan.
Vino berdeham disertai batuk buatannya. "Kalau aku bilang udah gak jomblo lagi, gimana, Ma? Aku udah ada pasangannya, kok."
Arinta mengernyitkan dahi. Benarkah? Sejujurnya, Arinta sedikit terkejut juga penasaran perihal kebenaran Vino yang sudah memiliki pasangan. Hanya saja, Vino belum bercerita gadis yang sudah menarik perhatian Vino setelah sekian lama. Terakhir yang ia ingat saat Vino duduk di bangku SMA. Itupun, katanya, hanya sebatas sahabat saja, tidak lebih dari itu.