4|| The Truth
Vino merebahkan Mamanya di kamar. Sementara Alena menunggu di ruang tamu. Setelah mengusap sebagian kepala Mamanya, Vino menutup pintu dan berjalan ke ruang tamu. Di sana, Alena duduk dengan tenang.
"Bagaimana?" tanya Alena. Vino hanya menghembuskan napasnya sedikit kencang."Aku tidak mengerti, kenapa Mama bisa sampai pingsan." Ucap Vino tak habis pikir.
Alena menoleh menatap Vino yang tertunduk. "Jika kamu tau satu hal, mungkin kamu akan paham mengapa Mamamu pingsan ketika mendapatimu meraih ruang kosong." Ujar Alena.
Vino menggeleng pelan. Ia mengusap sebagian wajahnya gusar. Mengapa gadis di sebelahnya ini seakan menyimpan banyak sekali tanda tanya. Mulai dari pertama kali mereka bertemu di taman, sampai hari ini. Sisi lain dari gadis ini seperti tertutup rapat. Bahkan, Vino saja tidak berhasil menjangkaunya.
Aldea menutup pintu mobil, kemudian memasang seat belt di tubuhnya. Hari ini, ia dan Arya akan meninjau lokasi usaha restoran yang akan berusaha mereka berdua rintis. Di depan rumah, tampak seorang gadis cantik melambai kepadanya dan Arya. Alena Aeraseva, gadis yang di rawat oleh Aldea dan Arya sejak 6 bulan setelah pernikahan mereka. Baby Alena, yang sekarang beranjak besar dan semakin cantik.
Arya melajukan mobil meninggalkan halaman rumah mereka, membelah jalanan kompleks menuju jalan besar.
"Apa Mas Arman ada menghubungimu, De?" tanya Arya pada Aldea.
Aldea menggeleng. "Aku sebenarnya tidak enak pada Mas Arman. Papa banyak membantu kita, sementara Mas Arman juga pasti membutuhkan dana untuk tambahan biaya sekolah Davino, kan. Apa kita tunda saja rencana ini, Ar?" lirih Aldea.
Mobil mereka berhenti di tikungan jalan, macet di depan.
"Kita harus bisa membuktikan pada Papamu bahwa rencana kita ini serius. Aku optimis, usaha kita kali ini akan berhasil, Dea. Everything's gonna be alright. Tenang saja." Ucap Arya sambil meraih tangan Dea dalam genggamannya.
Tiba-tiba, dari arah depan, sebuah mobil melaju kencang dan ugal-ugalan. Tidak dapat di hindarkan lagi, mobil itu menabrak bagian depan mobil yang ditumpangi Arya dan Aldea dengan keras. Suara pecahan kaca dan alarm mobil terdengar riuh.
Sementara beberapa orang bergerak mendekat, Aldea merasa sekitarnya bergoyang. Pandangannya jauh dan kabur. Dirinya masih terkurung dalam bangku penumpang dan terlilit seat belt. Ia menoleh ke sebelah kanan, dan mendapati Arya terdiam dengan mata terpejam. Mulutnya sangat ingin berteriak, tetapi tidak ada suara yang keluar. Badannya terasa sakit terhimpit bagian depan mobil yang rusak berat. Samar-samar, ia mendengar orang-orang berkata meminta tolong satu sama lain. Aldea masih tidak mengerti, apa yang terjadi dengan ia dan suaminya. Sekujur badannya merasa sakit di setiap inchi. Sampai akhirnya, suara disekitarnya perlahan hilang seiring dengan hilangnya kesadarannya.
***
Alena menutup pintu depan rapat-rapat. Kedua orangtuanya baru saja pergi beberapa menit yang lalu. Tangan mungilnya bergerak memutar kunci pintu. Setidaknya, ia berusaha menjalankan apa yang orangtuanya perintahkan selama ia berada sendirian dirumah.
Alena kecil berjalan ke lantai dua,, tempat di mana letak kamarnya berada. Ia meraih boneka teddy bear besar hadiah dari Papanya. Entah mengapa, perasaan gadis cilik itu begitu tak tenang. Jantungnya serasa berdebar dua kali lipat dari biasanya. Alena melirik ke meja disebelah tempat tidurnya. Di sana, terpampang foto dirinya bersama kedua orangtuanya.