Bagian Tigabelas [rated]

13.2K 807 17
                                    

Iryana terbangun, dia memandang tempat dimana Edgar tadi malam tertidur membelakanginya. Bahkan semalam sebelumnya mereka tengah menghabiskan malam yang sangat panas dan malam selanjutnya begitu dingin. Iryana mengelus permukaan kusut yang menjadi tempat Edgar tidur kini dingin, pria itu pasti sudah bangun dari tadi.

Hatinya terasa nyeri, dia takut Edgar kembali menjadi Edgar yang dingin dan semua ini karena kesalahannya. Kebodohannya. Dan keberaiannya yang tidak mengerti timing yang tepat.

Di tempat lain, Edgar memandang bangunan yang terlihat begitu kecil dari ruang kerjanya yang memang berada di lantai atas sebuah gedung pencakar langit yang tinggi. Dia hari ini datang pagi sekali, bahkan sebelum karyawan belum sampai ke kantor.

Victor yang memasuki ruangan Edgar terkejut tatkala melihat pria itu sedang berdiri dengan memandang bangunan di bawahnya dengan membawa cup coffee di tangannya.

"Kau berangkat pagi sekali, Ed." Victor meletakkan beberapa berkas yang akan menjadi pekerjaan Edgar nantinya.

Edgar yang mendengar Victor berbicara membalikkan tubuhnya hingga kini bisa menatap pria yang menjadi sahabatnya sejak kuliah di London.

"Kau sendiri juga datang pagi sekali." Balasnya.

Victor mengangkat bahunya acuh tak acuh. "Aku punya pekerjaan yang lebih besar daripada kau." Dia juga tidak mau kalah ternyata.

"Cih..." decihnya. "Ah, kau masih ingat pria yang diceritakkan Diana, teman Iryana itu."

Victor terlihat berfikir keras. Dan dia nyatanya tidak tahu karena memang dia tidak pernah bertemu dengan pria yang sebut Edgar.

"Dia chef yang memasak di pernikahan Gio kemarin, namanya Andre Kurnia."

Victor menghendikkan bahunya, tidak tahu. Karena nyatanya dari empat orang itu, hanya Victor yang tidak melihat Andre. Dia hanya duduk di mejanya dan menikmati makan malam serta memanjakan Diana yang sedang merajuk.

"Kenapa memang?"

Edgar meletakkan kedua tangannya di atas meja, kedua tangannya saling bertautan hingga membentuk sebuah kepalan yang kuat, "Hubungi dia. Dan bilang, aku ingin menemuinya."

**

Hari semakin larut dan Iryana masih setia duduk di balkon kamar mereka, dipandangnya bintang-bintang yang bertaburan. Kakinya menekuk diatas kursi, tangannya membentuk lingkaran yang memeluk kedua kaki kecilnya.

Sejak menjelang petang hingga jam menunjukkan pukul 10 lebih, Iryana masih saja setia temenung dengan secangkir kopi yang sudah mendingin dan memikirkan kesalahan yang membuat Edgar tidak menghubunginya lagi serta membuat pria itu marah kemarin.

Jika saja dia tidak bertemu Andre, jika saja dia tidak mengiyakan ajakan Andre, jika saja...

Semua hanya angan Iryana untuk membuat kondisinya dengan Edgar kembali membaik. Dia terasa menyesal karena saat Edgar membuka hatinya harusnya masalah seperti ini tidak akan menjadi besar. Tapi sayang, Edgar telah marah karena pria yang tak lain adalah rekan kerjanya dulu.

Sebuah dering telfon terdengar begitu nyaring, Iryana segara bangkit dan sedikit berlari menuju ponselnya yang dia letakkan di atas meja kecil disamping tempat tidurnya. Dia berharap itu Edgar.

Andre Calling...

Ah, bukan. Angannya terlalu besar hingga dia mengharapkan jika itu Edgar yang meneleponnya. Apa yang harus dia katakan? Haruskah mengatakan yang sebanarnya? Edgar menolak, tentu saja. Melihat reaksi pria itu membuat Iryana yakin bahwa Edgar menolak. Ya, dia cukup mengatakkan itu.

Hurt Me, Like You DoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang