Waktunya Menjauh!

3.4K 186 5
                                    

AUTHOR POV

“Semua sudah beres dan besok lusa kita berangkat, Feb.” Rana menghentikan mobilnya saat lampu lalu lintas berganti merah. Rana melirik Febby yang duduk disebelahnya dengan senyum sedih. “Rion masih belum menghubungimu, ya?”

“Jangan bahas dia,” jawab Febby. “Bagus lagi kalo dia gak hubungin gue. Gue jadi lebih mudah perginya.”

“Feb, aku minta maaf sekali lagi. Semakin kesini entah kenapa aku jadi merasa bersalah banget sama─”

“Kenapa lo minta maaf? Gue malahan makasih banget sama kebaikan lo ini, Ran.” Febby menepuk bahu Rana yang terlihat tidak enak dengan dirinya. “Ran, kalo memang gue sama Rion digariskan buat bersama, pasti bakal ada jalannya buat kembali lagi. Contohnya kayak lo sama Sebastian gitu.” Febby menyeringai jahil saat Rana reflek menegakkan tubuhnya dengan wajah merona.

“K-kenapa jadi bahas aku sama Sebby sih!” seru Rana malu-malu. “Jangan dibahas, aku juga sebenarnya lagi pusing. Sebastian juga kayak mulai menjauh dari aku.” Rana menghela nafas lelah.

Febby mengerutkan kening dengan heran. “Hah? Kok bisa? Rasanya beberapa hari lalu lo cerita habis ciuman sama Sebastian.”

“Aku berani taruhan sih itu karna kedudukan. Terlebih Sebastian itu butler yang sangat loyal, dan juga sekian lama jadi orang yang merawatku dibawah suruhan pasti membuatnya tidak enak sama orang tuaku kalau tiba-tiba menjalin hubungan sama aku,” ucap Rana lemas.

“Ancam aja mereka kalo elo bakal jadi lesbian sampai memang dilarang buat bareng sama Sebastian,” usul Febby dengan senyum jenaka.

“Lesbian, ya?” Rana mengerutkan wajahnya dengan serius, menganggap ucapan Febby bukan sebagai candaan.

Melihat ekspresi serius Rana membuat Febby panik. “Ran, gue cuma bercanda doang loh. Jangan dibawa serius, dosa tau jadi LGBT!” Febby mengguncang tubuh Rana yang terlihat semakin serius berpikir. “Udah, Ran, udah! Astaghfirullah, Ran, nyebut dulu!”

“Oke, opinimu bakal aku pertimbangkan lagi.” Rana tersenyum senang, mengabaikan semua kepanikan Febby sebelumnya. “Sekarang waktunya kita makan!”

Febby melemaskan tubuhnya saat mobil mulai berjalan membelah jalan di sore yang sedang turun hujan.

***

Ken dan Aiko menatap Rion dengan tatapan tidak percaya. Selagi menunggu hujan yang tidak ada tanda reda, yang dengan awetnya turun dari pagi,  mereka bertiga berkumpul di warung bakso di samping kampus yang cukup ramai pengunjung.

“Jadi itu alasan lo kayak cewek PMS beberapa hari ini? Si monyet makin bego aja.” Ken melempar gumpalan tisu ke kepala Rion yang nampak galau dihadapannya. “Dibenci sama Febby beneran baru ngerti lo!”

“Ken, jangan gitu sama Rion!” Aiko menjitak kepala Ken yang duduk disebelahnya. “Tapi, Ken gak sepenuhnya salah. Bagaimana bisa Rion berkata jahat begitu dihari-hari terakhir Febby di Indonesia?” Aiko menatap Rion dihadapannya dengan kecewa.

“Jadi, kapan lo mau ketemu Febby dan minta maaf?” tanya Ken kembali ke mode serius. Namun, Rion tidak juga memberikan tanda-tanda menghiraukan mereka berdua. “Lo mau nunggu sampe semuanya telat? Atau lo ada obsesi sama AADC dan berniat mau ngejar Febby di bandara kayak Cinta gitu?”

“Kalian berdua bisa diem gak sih?” Rion menatap kedua sahabatnya dingin. “Gue cerita semua itu ke kalian bukan berarti mau denger bacotan gak penting kayak tadi.”

“Makin kesini lo tuh makin gak jelas banget tau, Yon. Kenapa sih? Lo kalo suka ya bilang suka, gak usah pake cara menghina apalagi sok nyesal gitu.” Ken mulai tersulut emosinya, entah kenapa ingatannya melayang kepada Goldie. Dimana semua sudah jelas tetapi disaat bersamaan kabut tebal menghalangi. Hubungan yang simple tapi juga rumit.

PainFinderTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang