Waktunya Berpisah!

3.3K 187 9
                                    

AUTHOR POV

Dari tempat duduknya, Rana memperhatikan Febby yang memandangi orang-orang berlalu-lalang dengan memberikannya punggung yang dingin. Disebelah Rana ada Juni yang duduk sembari menautkan jemari dengan gelisah.

“Kamu baik-baik saja, Jun?” tanya Rana membuat Juni tersentak. Dengan tidak meyakinkan, Juni mengangguk untuk menjawab pertanyaan tersebut. Merasa tidak puas, Rana kembali bertanya. “Kalau Febby gimana?”

“J-juni rasa Kakak sedikit tidak baik ….” Juni menjawab dengan ragu.

Rana bangkit dari tempat duduknya dan menghampiri Febby dengan memberikan sebuah rangkulan kejutan. Tetapi, Febby tidak memberikan respon apapun selain tetap menatap kosong kerumunan orang-orang dihadapannya. Seakan jiwa gadis itu tidak ada disana sekarang.

“Ayolah, Feb, gak ada gunanya galauin cowok kayak Rion gitu!” seru Rana merangkul Febby lebih erat. “Tenang saja, kamu gak sendirian kok. Sebby juga jaga jarak sama aku dan ditambah aku bakal pergi jauh darinya juga.”

Febby melirik sedikit kearah Rana sebelum menghela nafas panjang. “Apa Rion gak bakal datang, ya?”

Rana melepaskan rangkulannya lalu menampol wajah Febby. “Hei, bangun! Apa yang masih bisa diharapkan dari cowok kayak gitu, hah? Udah sejahat itu dan dia bahkan tidak ada minta maaf sama kamu!”

“Iya, sih. Tapi ….”

“Gak ada tapi-tapian, Feb. Mending kamu lupain aja cowok aneh kayak Rion. Dia tuh cowok gak punya hati!” Rana mendengus kasar. “Aku tahu dia itu bodoh, tapi aku gak nyangka dia bisa sejahat itu.”

“Tapi, gue beneran mau ketemu dia, Ran. Sekali saja, gue mau pamit dengan benar.” Tanpa sadar Febby meneteskan air mata dengan deras. “Sekali saja … gue mau lihat dia sekali saja.”

“Oke, baiklah! Ini adalah cara yang paling konyol. Tapi, kita tak ada salahnya berharap, ‘kan?” Rana meraih ponselnya dan menekan sebuah nomor yang baru-baru ini dia hafal. "Meski ada cara yang lebih mudah, kita harus coba cara yang ini sekalian aku mau modus."

“Halo, Sebby aku mau memberikanmu sebuah perintah!” Rana berucap tegas tepat saat sambungan terhubung.

“…”

“Kamu tunggu diluar rumah dan tunggu kedatangan Rion disana!”

“…”

“Pokoknya tunggu saja dan beritahu dia kalau aku dan Febby berada di bandara!”

“…”

“Sudah itu saja. Jalankan perintahku dengan baik!” Rana memutuskan panggilan, dan disaat yang bersamaan Sebastian bergegas menjalankan perintah sang Nona. Yakni menunggu kedatangan Rion yang sebenarnya adalah harapan kecil mereka.

Rana memeluk Febby dengan wajah putus asa. “Jika memang dia peduli, saat ini dia pasti akan mencari.” Rana menepuk punggung Febby pelan. “Untuk saat ini, kita tunggu saja.”

***

Rion berlari dan berlari dengan pikiran dipenuhi oleh satu orang; Febby. Bajunya sudah dibasahi peluh, wajahnya memerah, dan giginya bergemeletuk. Efek merokok membuatnya tidak kuat berlari, tetapi untuk saat ini ia seperti kerasukan hingga nekat berlari sejauh 3 km.

Saat bandara sudah terlihat didepan mata, Rion menambah kecepatan larinya meski kedua kakinya sudah terasa mati rasa. Penyesalan dan keputus asaan adalah alasan utama ia memilih mengejar Febby dengan berlari. Seperti orang bodoh, ia berfikir jika ia berlari maka semua rasa sakit Febby akan terbayar.

“Gue mohon ….” Rion mencari-cari dikeramaian bandara dengan nafas tersengal-sengal. “Tinggallah, jangan pergi. Gue mohon!” Rion kembali berlari menyusuri seisi bandara untuk mencari sosok Febby. Mencari dengan segenap kegilaan dari perasaan rumit didalam hatinya.

PainFinderTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang