AUTHOR POV
Rana membawa Rion kesebuah gudang yang nyatanya tidak bisa disebut sebagai gudang. Dalam diam, Rion memperhatikan Rana yang sibuk membuka beberapa kardus dihadapannya.
"Yon, kok diem aja daritadi?" tanya Rana memecah keheningan. "Mending kamu bantuin aku hamburin nih kardus."
"Gue masih gak yakin ini beneran gudang. Daripada kamar gue, gudang ini jauh lebih besar dan bagus entah kenapa." Rion berjalan mendekati Rana yang memangku sebuah album foto berukuran sedang.
Rana mengusap permukaan album foto tersebut. "Yon, aku boleh cerita sedikit gak?"
"Cerita atau curhat?" tanya Rion berusaha bercanda, namun reaksi Rana berkata lain dari dugaannya. Gadis disampingnya itu reflek menoleh dengan wajah merona merah dan mata terbelalak. "Eh? Beneran mau curhat ya?"
"Kamu pasti sudah anggap aku apaan, ya? Sudah jahat kayak gitu dan sekarang malah seenaknya mau curhat. Aku ... bodoh, ya?" Rana menunduk sembari menatap sendu album foto dipangkuannya. "Kamu tau, setelah dipermalukan saat hari kelulusan SMP waktu itu, aku dilarikan ke luar negeri karna mengalami depresi. Aku berjuang untuk sembuh dengan seorang psikiater terhebat disana selama lebih dari 3 bulan."
"Hah? Beneran?" Rion terbelalak tak percaya. "Gue kira lo ke luar negeri buat kabur doang loh."
"Gara-gara itu, aku kehilangan beberapa memori jangka panjangku. Sebenarnya banyak yang kulupakan dan itu cukup merepotkan. Terlebih aku terdorong untuk mengingat sesuatu. Seakan sesuatu paling penting ikut hilang juga." Rana kembali mendongakkan kepalanya dengan wajah yang seperti menahan tangis.
Rion mengangguk paham lalu mengambil alih album foto yang ada dipangkuan Rana. Rion membuka halaman pertama dan disana terpampang jelas foto-foto Rana saat masih SMP.
"Yang aku tahu dari foto-foto disana itu adalah mereka semua temanku. Meski aku tidak tahu nama mereka, aku merasa itu bukan hal yang besar. Bukan mereka masalah utamaku." Rana menghela nafas lelah. "Lumayan banyak yang sudah kuingat, tapi yang benar-benar mau kuingat belum ketemu."
"Jadi siapa? Kamu sudah periksa semua yang ada di gudang ini?" Rion kembali membuka halaman berikutnya dari album tersebut. Rion mengukir senyum miring lalu mencabut foto itu. "Apa orang ini?"
Rana mencibir. "Jelas bukan dia, 'kan? Aku terlalu ingat cowok brengsek itu!" Rana menunjuk foto itu, dimana ia dan Rey berfoto dengan pose saling berangkulan dan tersenyum senang. Ah, tidak. Hanya Rana yang tersenyum disana, sedangkan Rey tidak.
"Oh iya, Yon. Aku minta maaf atas kelakuan dulu, ya." Rana tersenyum tipis begitu Rion reflek menoleh dan menatapnya heran. "Dari dulu aku sadar kalau aku salah. Gak munafik, aku pun dulu menyukaimu. Hanya saja aku terlalu gengsi untuk minta balikan dan akhirnya cuma bisa nikmatin hubungan dingin yang kujalin sama Rey waktu itu."
"Gue memang tipikal cowok yang disukai cewek sih. Jadi, gue gak kaget dengernya." Rion menyisir kebelakang rambutnya dengan jemari. Berlagak sok keren.
Rana tertawa mendengarnya. Tertawa dengan lepas sehingga rona kemerahan akibat malu barusan berubah menjadi rona samar yang nampak lebih manis. Ekspresi yang sangat Rion suka dulu. Namun sekarang ekspresi itu tidak lagi memiliki arti istimewa dimata Rion.
Setelah tawanya reda, Rana mengatur nafasnya kembali. "Masih sempat ngelawak aja kamu, Rion." Rana mengulum senyum sembari menyisip anak rambutnya kebelakang telinga. "Padahal niat awalnya aku mau balas dendam habis-habisan gitu. Tapi, setelah aku memperhatikan kalian semua, terlebih memperhatikan kehidupan Febby dan Juni, niatku itu lama-lama jadi basi."
"Dari kecil aku tdak dekat dengan orang tuaku. Aku belajar menari dan membuat origami hanya ditemani oleh para Maid dan Butler dirumah. Rasanya menyenangkan namun kadang juga kosong. Ada saat dimana aku merasa begitu kesepian dan menganggap kedua orang tuaku itu tidak adil." Rana mengambil sebuah album foto yang lebih kecil didalam kardus tersebut.

KAMU SEDANG MEMBACA
PainFinder
Fiksi Remaja[15+] PAIN SERIES #3 Karna, sekali kamu menemukan sisi tergelap dari perasaanmu, percayalah, kamu tidak akan pernah mau merasakan perasaan itu lagi. . . . "Akhirnya, aku menemukanmu!" . . . ...Jadi, kamu tidak percaya kalau aku mencintaimu?