-19-

2.3K 257 4
                                    

               Kami banyak bercerita tentang hidup kami yang ternyata tak banyak berbeda. Hanya saja dia tumbuh dengan wajah tampan dan tubuh kurus. Kami memutuskan untuk pergi ke halaman tempat kampanye di lakukan. Terlihat Ariel dan yang lain sedang duduk menunduk. Kami mendatangi mereka, tepat kemudian Ariel melihat kami datang dan memelukku seraya menangis. Kurasa dia sedikit terlalu berlebihan.

"I'm so sorry El." Sesalnya masih memelukku, aku balik memeluknya.

"It's okay. Go forward and beat they down." Ujarku berusaha melupakan tentang poster konyol itu dan berusaha tidak meluapkan semua amarahku.

                Ariel kembali maju dengan pidato hasil revisi seluruh tim, sedangkan aku dan Zach tidak ikut naik ke atas panggung. Pertama, seluruh orang mentertawakan poster dengan aku di sana. Kedua, aku tak ingin mereka berfikir bahwa aku memang bahan tepat untuk dijadikan lelucon murahan mereka saat naik ke atas.

                 Kampanye berjalan tidak baik, maksudku untukku. Seperti yang sudah kubayangkan sebelumnya, tentang ejekan atau apapun. Namun kurasa itu berjalan baik untuk Ariel karena dia akan maju ke tahap selanjutnya bersama Amathys, dan Matthew.

"Hey jalang, sampai kapan kau terus berpura-pura? Nilai kalian di kelas Mrs. Anderson sudah selamat." Teriak seseorang saat kami duduk di kafetaria untuk merayakan kemenangan Ariel. Kali pertama aku duduk di sini dengan banyak teman.

                    Itu Amathys dan Zoey, mereka pasti ingin mengejekku lagi dan lagi. Aku menaruh kedua tanganku di atas meja kemudian menenggelamkan wajahku agar mereka tidak melihatku.

"What's your problem dude?" Sahut Nick.

"The problem is yours. Tell her the truth guys, or the honor will be mine." Ujarnya lagi seraya menunjukku, aku? Ada apa denganku?

"What the hell is wrong?" Tanyaku pada mereka yang mulai terlihat panik, mereka adalah Zach, Nick, Tim, dan Ariel. Sedang Charles, dia selalu terlihat konyol.

"Tell her guys." Ujar Zoey kemudian mereka berdua tertawa. Aku hanya bingung, apa yang sebenarnya terjadi?

"Zach?" Tanyaku lagi.

"Baik! Kau adalah gadis yang baik, maafkan aku." Jawabnya dengan wajah sedikit frustasi.

"Apa?" Aku sangat bingung, keadaan ini sangat membuatku risih. Mereka nampak ketakutan dan aku nampak bingung, sedang sisanya mereka tak tahu apapun.

"Mereka menggunakanmu El, menggunakanmu! Agar nilai mereka di kelas Mrs. Anderson ada di titik aman."

Apa?! Mereka ternyata hanya memanfaatkanku? Jadi, semua kejadian yang kita lalui beberapa hari ini hanyalah sekadar cara mereka untuk mendapat nilai! Ya Tuhan mengapa ini harus selalu terjadi padaku di saat aku sedang berusaha menata hidupku sendiri dengan baik?

"Aku minta maaf, El. Tadinya itu jalan satu-satunya namun rupanya kau adalah gadis yang keren. Aku--"

"Cukup!"

                Dengan cepat aku pergi meninggalkan meja yang penuh omong kosong. Mereka mempermainkanku begitu saja? Mereka bahkan melakukan itu lebih baik daripada drama sekolah saat itu. Sial, mengapa aku mempercayai seseorang? Mempercayai seseorang adalah kesimpulan paling buruk yang mungkin dihadapi.

"Hey meatball kau melupakan sesuatu, berterimakasih padaku yang telah membuatmu tidak harus berlama-lama dengan pembohong itu bukan?"

"Thanks Am."
"Anytime big girl."

                  Aku tidak berhenti, aku bahkan tidak menatapnya sama sekali. Aku berusaha untuk tidak peduli pada semuanya termasuk paksaan aku harus meninggalkan team satu-satunya yang kutahu mau menerimaku.

"Okay, El, stop!" Cergah Zach di belakangku, aku mempercepat langkahku. Aku ingin pulang.

Rasanya memang hidup tidak pernah terasa normal, semuanya selalu ada yang tidak beres. Air mata membasahi pipiku dan membuat pandanganku kabur. Mungkin aku harus tinggal bersama nenek di Ohio agar aku tak harus bertemu mereka. Pedesaan, siapa yang tahu soal make up selain wanita tua di desa?

"Ella!" Cegah Zach menahan tanganku yang mungkin tidak muat di telapak tangannya. Nafasnya terengah-engah, aku enggan melihatnya lagi, dia seperti sudah menghancurkan semua harapanku, "Okay, please."

"Let me go!"

"No!"
"Let me! You jerk!"
"No! Listen to me!"
"Damn you! You're such a jerk!"
"Please!"

                Aku terus meronta, halaman depan yang sepi adalah peluang satu-satunya untuk pulang ke rumah. Dia menarik tanganku. Kemudian aku sadar jatuh di dalam dekapan tangan kurus yang kaku dan dingin, dia memelukku.

"Please, forgive me. I was wrong about you. You wasn't kind of weirdo or nerd or something, you're nice." Bisiknya di atas kepalaku, aku merasakan gelenyar aneh di seluruh tubuhku. Kali pertama seorang laki-laki memelukku, di tengah halaman depan sekolah.

"Thanks Zach." Ujarku lirih.

"Give us one more chance."
"Okay, but anyway this is little bit awkward. Can we--"
"Oh yeah, sure."

                  Kami melepaskan pelukannya kemudian saling menatap ke arah sneakers kami yang sama-sama kotor.

"Baik, aku akan pergi ke kelas musik." Ujarnya, aku mengangguk kemudian pergi ke arah berlainan.

SIZETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang