Semenjak kejadian di hari pertama itu, kami tak pernah saling bicara maupun bertegur sapa. Keadaan menjadi sangat dingin, seperti sebelum aku mengenalnya dulu. Sebelum dia berlari ke arahku dan kami berkenalan. Dia benar-benar membenciku, dan aku masih tak bisa melupakan perasaan yang sudah kuakui. Aku tidak pernah menyadarinya, maksudku aku tak pernah menyangka rasanya lebih nyaman ketika kami bersama.
Semenjak kejadian itu pula, hidupku kembali membosankan. Tidak ada lagi yang menarik. Aku tak tahu apakah hidup itu bisa mati, jika bisa mungkin itulah kata paling tepat yang bisa digunakan. Beberapa haripun berlalu hingga tibalah hari dimana kami harus bersama, karyawisata ke Florida yang telah ditunda hingga musim semi. Dan bodohnya saat itu aku mendaftarkan namaku bersamanya, jadi mau tidak mau kami harus berada pada pesawat, bus, maupun penginapan yang sama.
"Ayolah Isabella! Jika kau tidak juga keluar, Mom terpaksa harus mengatakan pada Mrs. Anderson kau akan mengerjakan tugas resensinya!" Seru Mom dari balik pintu kamarku, aku mendengus kesal. Aku bahkan tak bisa merapikan poniku yang menyebalkan.
"Fine Mom." Desisku pelan, kemudian kembali melihat pantulan diriku di cermin. Astaga, kurasa memang benar tidak akan ada yang menyukaiku, secara harfiah. Kandas sudah kisah romansa SMA ku yang seharusnya mengagumkan.
Jalanan di Virginia terlihat cukup berantakan. Seorang wanita berjas bahkan menumpahkan secangkir starbucks di rok span mahalnya sendiri. Ini semua salah Maddi yang menyembunyikan koperku. Mom bahkan lebih banyak menggerutu ketimbang menekan klakson mobilnya sendiri, sedang Dad harus pergi ke kantornya sebelum fajar untuk mempersiapkan pekerjaannya. Sara dan Maddi masih terlelap, bisa dibilang ini kali pertamanya sekolah menggunakan pesawat pagi untuk kegiatan karyawisata.
"Jaga dirimu Isabella, tekan tombol darurat jika terjadi sesuatu, selalu ingat untuk menekan tombol hijau ketika nama Mom atau Dad tertera di sana. Intinya tekan saja, okay?" Jelas Mom menasehatiku, aku mengangguk. Yang jelas aku bahkan tahu semua itu sebelum Mom memberi arahan yang bisa dilakukan baby Jack.
"Jangan lupa hubungi Mom setelah kau sampai, satu lagi, 9--"
"911."
"Good girl, I love you."
"I love you Mom."Bandara sangat ramai dengan gadis glamour dan laki-laki headband. Sedang aku hanya memakai kemeja dan celana panjang, sangat sederhana dan tidak mengundang perhatian. Seperti seharusnya, seperti sediakala.
"El, kau masih tak ingin bicara padanya?" Tanya Hayley berbisik, Ariel yang baru saja duduk di sampingku mengangguk setuju.
"Yang benar saja? Dia membenciku." Jawabku juga berbisik, aku melihat pemilik manik biru indah itu ada di dekat kami.
"Kau gila? Dia tidak membencimu." Elak Ariel kemudian mendekatkan kepalanya.
"Bagaimana kau tahu? Kau pergi ke Paris selama seminggu, dan kalian tidak bertemu."
"Ada benarnya."
"Yang kutahu kalian tidak bisa terus diam."
"Seharusnya kau katakan itu padanya."Tanpa sadar, aku selalu berusaha menatapnya. Dan beberapa kali aku menangkapnya menatapku dengan tatapan tajam. Aku sangat ingin mengatakan bahwa tidak seharusnya aku semarah ini. Karena wajar saja seorang laki-laki tidak menyukaiku, bahkan seluruh laki-laki di dunia ini pun begitu.
Sesampainya di hotel, aku langsung menata barangku. Aku berada satu kamar dengan Ariel, karena Hayley harus berada satu kamar dengan Linsey. Buruknya adalah Zach dan aku hanya berbatasankan dinding putih kedap suara. Bukan salahnya jika kamarnya ada di sebelah kamarku, namun bukan salahku juga jika aku punya perasaan sedih dan senang dalam satu waktu.
Hari ini aku tidak bisa fokus dengan apa yang dibicarakan Mr. Jeff selama kami ada di tempat-tempat wisata. Mataku terus jelalatan mencari dimana Zach berada, karena aku sangat panik jika menyadari dia ada di dekatku saat kami belum berbaikan seperti ini. Lagipula ini salahnya karena tidak menghargai pemberian seseorang, walaupun seseorang itu adalah gadis yang dibencinya.
"Isabella tolong." Ujar seseorang tiba-tiba seraya menarik tanganku. Aku menoleh dan sangat terkejut ketika menatap langsung pada sepasang mata biru berkilau yang menatapku juga. Kami hanya terdiam sangat lama, hingga semua rombongan melewati kami.
"Apa yang sebenarnya terjadi?" Tanyanya sedikit canggung, aku menunduk melepaskan mata biru itu.
"Seharusnya aku bertanya padamu, kau membenciku!" Jawabku melepaskan pegangannya.
"Aku? Membencimu? Aku tidak pernah membencimu. Kau yang membenciku."
Aku memang membencimu.
.
.
.
Namun sayangnya, aku menyukaimu dalam satu waktu."Aku bukan tipikal pembenci." Kataku tanpa sadar suaraku sedikit bergetar karena ketakutan.
"Lalu aku yakin, ini semua hanya salah paham."
"Jangan membohongi dirimu sendiri."
"Apa? Tidak mungkin. Begini, natal lalu ponselku jatuh ke dalam sungai. Kemudian, aku bahkan tidak bisa membuatnya menyala kembali, dan yang terjadi adalah orang tuaku menghukumku."Seketika tubuhku seperti ber euforia karena ternyata itulah alasannya tidak menghubungiku sama sekali. Namun itu belum menjelaskan mengapa dia merobek dan membuang hadiah natalnya dariku.
"Setelah ponselku kembali... Lupakan saja, maafkan aku. Kumohon." Lanjutnya menyodorkan telapak tangannya beserta senyum mengimbanginya. Aku menjabatnya dan tersenyum.
"Ngomong-ngomong, aku tahu kau pasti merindukanku. Mengapa tidak menelfon?" Tanyanya seraya berjalan menuju rombongan yang kembali ke hotel tempat kami menginap. Aku memutar bola mata malas.
"Apa? Merindukanmu? Yang benar saja." Elakku.
"Baiklah, aku tahu. Dimana kameramu?" Tanyanya, mendadak timbul kembali perasaan sedih mengingat aku bahkan tidak punya nyali untuk bertanya tentang syal itu.
"Aku pasti meninggalkannya di atas ranjang." Jawabku sedikit gugup, aku memang membawanya. Namun kuletakan di dalam koperku, berjaga-jaga jika kita tidak akan pernah berbaikan.
"Aku tak sabar melihat apa yang kau lakukan saat liburan natal lalu."
"Aku tidak akan menunjukkannya sebelum melewati tahap photoshop."
"Aku yakin tidak perlu."
"Kau memang selalu optimis."
"Api dan air?"
"Masa bodoh tentang perandaian."Kami berbincang-bincang tentang betapa bodohnya Brennen juga natal kami tanpa Santa Claus. Hingga menyadari kami telah berdiri di depan pintu kamarku.
"Kita sampai." Ujarnya, aku mengangguk kemudian menyadari Ariel menghambat pintunya yang hampir tertutup dengan setangkai bunga. Aku rasa Charles memberikannya tepat saat Ariel baru saja melangkahkan kakinya ke dalam.
"Oh hey, Amathys menyewa klub mungkin kau mau datang?" Tanyanya sebelum aku memungut bunga itu.
"Um baiklah. Kami akan siap saat kalian siap."
"Cool. See ya around."
"See ya."Aku memungut setangkai mawar merah segar tadi dan benar saja, terdapat label berinisial C. Tadinya, tersirat harapan mungkin seseorang akhirnya memberikanku bunga, dan itu adalah khayalan paling konyol yang kutahu.
KAMU SEDANG MEMBACA
SIZE
Teen FictionWritten in Bahasa Have you ever think about who or what will end your feeling of bored being such an ugly one? Everyone just mentally feel so pity of you, it sucks, totally sucks. Life without any sort of guy who loves you but daddy, always try to b...